Wacana Kenaikan Pajak Hiburan, Solusi atau Kezaliman?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Lensa Media News–Pemerintah kembali mengesahkan kebijakan pajak, kali ini penetapan pajak hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKDP).
Sebagaimana kebijakan lainnya selalu menuai pro dan kontra, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meminta pajak jasa hiburan di provinsi ini diterapkan dengan tarif yang wajar di kisaran 10 persen hingga 20 persen, hal ini disampaikan oleh Ketua PHRI DIY Deddy Pranowo Eryono (republika.co.id, 22/1/2024).
PHRI DIY menyebutkan penyebab keberatan lainnya yaitu rencana penerapan kebijakan yang tanpa didahului sosialisasi serta pembahasan bersama asosiasi pelaku usaha terkait. Di saat yang sama sejumlah negara saat ini berlomba menurunkan pajak hiburan untuk menggaet lebih banyak wisatawan (Thailand, Singapura, Filipina).
Dikhawatirkan pula, bakal berpengaruh pada animo kunjungan wisatawan sebab mereka membutuhkan jasa hiburan selain mengunjungi destinasi wisata dan menginap di hotel.
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji mengungkapkan regulasi tersebut tidak ada mekanisme dana bagi hasil ke pusat. Jadi ini murni revenue bagi pemerintah kabupaten atau kota terkait,” kata Bawono (Republika.co.id,20/1/2024).
Bawono mengatakan, secara umum aturan tersebut tidak akan berdampak besar kepada pendapatan daerah. Sebab, proporsi pajak hiburan terhadap total pajak daerah angkanya pada kisaran dua persen.
Bagi pemda justru memiliki pilihan terbaik yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan aktivitas usaha karena akan berdampak positif bagi penerimaan. Jadi paradigma di daerah sebaiknya justru menciptakan pertumbuhan dan memberikan ruang gerak aktivitas ekonomi jelas Bawono.
Sebaliknya, Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman Purwadi Purwoharsojo menilai penerapan pajak hiburan akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi daerah.
Menurut Purwadi, kenaikan pajak hiburan tersebut tidak sejalan dengan kondisi ekonomi makro yang belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19. Ia menilai, pajak hiburan yang tinggi akan memberatkan pengusaha dan konsumen, terutama di kota-kota metropolis seperti Samarinda dan Balikpapan. Pemerintah seharusnya lebih fokus kepada insentif pajak bagi pengusaha besar yang berinvestasi di sektor sumber daya alam (republika.co.id, 22/1/2024).
Besar Kecil Tarif Pajak Tetap Zalim
Beginilah jika sebuah negara diurus dengan cara penetapan pajak dan utang luar negeri. Berbagai obyek dikenai pajak, pun penghasilan seseorang yang didapat dari cara bekerja pun harus disetorkan untuk pajak.
Fakta ini seharusnya tidak menina bobokan masyarakat. Pajak baik nominal kecil ataupun besar tetaplah zalim. Samasekali tidak menciptakan keadilan, sebab fakta pula bahwa setiap warga negara punya kemampuan yang berbeda. Bagi yang lemah, dimana seharusnya ialah yang disantuni negara justru terseret pada kewajiban membayar pajak. Ujungnya kata sejahtera akan jauh panggang dari api.
Pajak yang terkumpul dalam APBN atau APBD pun rentan dikorupsi dan di musim kampanye ini disinyalir mengalir deras bersamaan dengan dana dari luar negeri kepada partai dan pejabat. Pajak hiburan, menempati hanya sekian persen dari struktur pajak, tetap saja digenjot oleh pemerintah, hal ini menunjukkan betapa abainya negara mengurusi rakyatnya. Dengan kekayaan alam yang melimpah, negara masih mengandalkan pariwisata yang tak seberapa.
Jelas bohong besar jika pemerintah atau para calon pemimpin yang akan berlaga di pemilu mengatakan akan menyejahterakan rakyat namun masih mengandalkan pajak dan memberikan pengelolaan SDA kepada asing atau oligarki.
Sistem Kapitalisme Akar Permasalahan
Namun inilah jika kita masih berada pada pengaturan sistem buatan manusia. Kapitalisme yang akarnya sekularisme ( pemisahan agama dari kehidupan) menciptakan penjajahan gaya baru (neoliberalisme). Semua yang bermodal besar bebas mengeksploitasi kekayaan suatu negara , dimudahkan oleh kebijakan penguasa, sementara untuk pembiayaan operasional negara justru memalak rakyatnya melalui pajak dan penambahan utang luar negeri.
Syariat Islam Wujudkan Negara Mandiri Tanpa Pajak
Pertanyaannya, adakah negara yang hidup tanpa utang? Menteri keuangan Sri Mulyani jelas mengatakan semua negara Islam di dunia juga berhutang. Ingat, yang beliau sebut negara Islam, bukan negara yang menerapkan Islam (syariat). Jelas sekali bedanya.
Padahal sejarah ketika Islam menjadi sistem sebuah negara, menunjukkan dengan jelas dan terang betapa digdayanya negara tersebut tanpa utang dan pajak. Bahkan mereka masih bisa membantu negara lain yang kesulitan dikenal dengan peristiwa “The Great Irish Famine 1845-1852” yaitu wabah kelaparan hebat akibat hama Phytophthora infestans yang meluluh lantakkan pertanian negara Irlandia yang kala itu menjadi bagian dari Inggris.
Khilafah Utsmaniyah yang dipimpin Sultan Abdul Majid I pada tahun 1847, berhasil melabuhkan lima kapal militer pembawa bantuan ke Drogheda, kota di pesisir timur Irlandia. Khalifah menganggarkan dana sebesar 10 ribu poundsterling, dalam rupa uang dan bahan pokok.
Pada saat itu, Khilafah Turki Utsmani sebagaimana khilafah-khilafah sebelumnya hanya memiliki Baitulmal sebagai sistem keuangannya. Ditetapkan syariat, dengan cara negara mengelola seluruh kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Berupa barang tambah, hasil hutan, laut, dan lain sebagainya. Jadi, masihkan sangsi ada negara yang mandiri tanpa pajak? Wallahualam bissawab. [ LM/ry].