Konflik Agraria Terus Ada dalam Sistem Kapitalis, Inilah Sebabnya!

Oleh: Sabila Herianti

LenSa MediaNews__Selama periode 2009-2022, setidaknya terdapat 4.170 kasus konflik agraria di Indonesia yang berdampak pada sekitar 2,25 juta Kepala Keluarga (KK). Angka ini dihimpun oleh databoks melalui laporan akhir tahun Konsorium Pembaruan Aagraria (KPA) yang rutin mereka rilis sejak 2009. Data tersebut diperoleh dari sejumlah sumber, di antaranya: dari laporan korban atas kejadian konflik agraria ke KPA, baik secara langsung maupun tidak langsung; pengumpulan data dari daaerah; investigasi kasus lapangan; dan pemantauan pemberitaan media massa.

 

Melihat terbatasnya sumber yang diperoleh menunjukkan angka yang disebutkan bukanlah total konflik agraria sesungguhnya yang terjadi Indonesia, melainkan hanya angka minimal saja. KPA juga hanya mencatat kasus konflik agraria yang disebabkan kebijakan pejabat publik, serta mengakibatkan terancamnya atau tersingkirnya hak-hak konstitusional masyarakat atas sumber-sumber agraria. (databoks,12-01-2024)

 

Dalam sistem saat ini, yakni sistem kapitalis, konflik agraria merupakan satu keniscayaan. Pasalnya, para pemilik modal dapat dengan mudah dan bebas menguasai lahan-lahan milik individu dan umum, serta mendapatkan perizinan negara untuk menguasainya. Hal ini merupakan buah dari asas kapitalisme, yaitu sekularisme, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Alhasil, setiap proyek pembangunan dalam sistem saat ini yang notabennya membutuhkan lahan yang luas, hanya ditujukan untuk kepentingan bisnis, dan tidak memiliki kepastian hukum, sehingga memiliki konsep administrasi dan kepemilikan lahan yang amburadul.

 

Pembangunan yang dipayungi oleh liberalisme ini mengakibatkan kedzaliman yang nyata. Hal ini karena, pembangunan akan terus dilanjutkan meskipun lahan yang digunakan merupakan tanah milik rakyat, seperti lahan pertanian, perkebunan, hutan, pesisir laut, bahkan lahan yang sudah dibangun rumah. Akibatnya, rakyat yang lemah terpaksa kehilangan tempat tinggal dan sumber mata pencahariannya.

 

Mirisnya para penguasa dan pengusaha tidak memperdulikan hal ini. Ini merupakan bukti, bahwa bukan kesejahteraan rakyat yang ditimbulkan dari proyek pembangunan sebagaimana dalih penguasa saat ingin melakukan pembangunan yang dilabeli Proyek Strategis Nasional (PSN), melainkan perampasan ruang hidup rakyat yang semakin menjadi-jadi. Tidak heran jika selalu terjadi konflik lahan antara rakyat dengan penguasa bersama korporsi yang berujung kemenangan pada pihak yang kuat dan berkuasa, yakni pemerintah dan pemilik modal.

 

Sejatinya, pembangunan yang tidak menimbulkan konflik agraria hanya dapat terwujud di bawah sistem ekonomi dan politik Islam. yakni, sistem yang dijalankan oleh negara yang berideologi Islam, yaitu Khilafah Islamiyyah. Sistem ekonomi Islam memiliki konsep kepemilikan yang jelas, sehingga tidak sembarang pihak dapat menguasai lahan atau sumber kekayaan secara semena-mena, apalagi menguasi lahan yang notabennya merupakan milik umum.

 

Dalam sistem Islam, negara merupakan pengurus rakyat, maka sudah dipastikan setiap pembangunan yang dilaksanakan ditujukan untuk kepentingan rakyat secara menyeluruh, bukan hanya untuk kepentingan segelintir orang atau pemilik modal seperti sistem saat ini. Artinya, pembangunan akan selalu dikaitkan dengan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, berupa sandang, pangan, papan, dan juga kebutuhan dasarnya berupa pendidikan, kesehatan, kemanan, termasuk kebutuhan transportasi yang aman, nyaman, dan murah bahkan gratis, serta pembangunan sentra-sentra ekonomi untuk menghidupkan perekonomian seluruh lapisan masyarakat dan penjuru wilayah negara Khilafah.

 

Dalam Islam, negara wajib menghormati dan melindungi kepemilikan individu. Karena, tanah dalam perspektif Islam memiliki tiga status kepemilikan. Pertama, tanah yang boleh dimiliki individu, seperti lahan pertanian. Kedua, tanah milik umum, yakni tanah yang di dalamnya mengandung harta milik umum (seperti hutan), mengandung tambang dengan jumlah yang sangat besar, dan tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum, seperti jalan, kereta api, dan sebagainya. Ketiga, tanah milik negara, yaitu tanah yang tidak bertuan atau tanah mati, tanah yang ditelantarkan, tanah di sekitar fasilitas umum, dan lain-lain.

 

Inilah mekanisme pengelolaan lahan dalam Islam yang tidak akan menimbulkan konflik lahan apalagi merugikan masyarakat. Wallahu a’lam.

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis