Impor Beras Kian Deras, Kedaulatan Pangan Sebatas Asa
Oleh: Nurhayati, S.S.T.
Lensa Media News – Menjelang berakhirnya pemerintahan Jokowi kembali kebijakan impor beras bergulir yang direncanakan dilakukan tahun ini. Jokowi menitahkan kepada pihak Bulog untuk melakukan 2 juta ton impor beras dalam rangka memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP).
Alasan dari impor ini seperti yang dituturkan oleh Presiden RI ini adalah karena setiap tahun terjadi pertambahan penduduk. Setidaknya ada 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya dan itu pasti akan menambah jumlah konsumsi dalam negeri. Ia juga menjawab fenomena super El Nino yang menjadi sebab kekeringan dan defisitnya hasil panen tahun ini. Sebagaimana dikuti dari Ekonomi.Bisnis.com (3/1/2024) bahwa jumlah produksi beras periode Oktober-Desember 2023 terjadi defisit sebesar 0,26 juta hektar di banding tahun 2022 lalu. Sehingga kebijakan impor dianggap sebagai “solusi” bagi pemenuhan beras dalam negeri.
Swasembada Pangan Kandas
Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu program pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan yang dimana ada tiga jenis produk pertanian yang dicanangkan surplus bahkan ekspor sehingga tidak harus melakukan impor seperti beras, jagung dan kedelai. Namun masa pemerintahan ini akan berakhir “mimpi” itu masih jauh panggang dari api.
Pasalnya berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporannya mengungkapkan bahwa produksi beras di 2023 turun sebesar 2,05 persen atau setara 650.000 ton dibandingkan tahun sebelumnya (Ekonomi.Bisnis.com, 3/1/2024).
Impor beras ini adalah solusi pragmatis dan tidak menyentuh pada persoalan mendasar yang harusnya sudah disediakan bahkan sudah terencanakan oleh pemerintah. Sebab sudah diketahui bahwa bonus demografi penduduk Indonesia sudah dapat diprediksi tentu solusinya adalah langkah antisipatif untuk memenuhinya.
Juga impor jelas akan membuka kran lahan bisnis baru bagi penyedianya bahkan ada potensi mafia seperti kasus minyak goreng 2021. Sebab perusahaan yang digandeng oleh pemerintah tentulah berorientasi bisnis yang mana profit yang dikedepankan bukan bervisi akan pengurusan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan untuk rakyat. Hal ini harus menjadi evaluasi pemerintah bahwa impor bukanlah solusi yang hakiki bagi pemenuhan kebutuhan rakyat. Akan tetapi perlu ada penataan ulang kebijakan yang harusnya mementingkan rakyat bukan kepentingan segelintir orang.
Seperti inilah realitas ekonomi dalam sistem kapitalisme bahwa negara menganggap dirinya tidak mampu mengurusi urusan rakyatnya. Impor menjadi salah satu contoh setengah hatinya penguasa dalam mengurusi kebutuhan primer rakyatnya. Sehingga impor sebenarnya memberi akses bagi korporat “berbisnis” dengan negara.
Sudah menjadi tanggung jawab negara untuk menjaga kedaulatan pangan dengan berbagai macam langkah antisipatif dan solutif seperti perluasan dan memaksimalkan lahan pertanian. Namun begitu maraknya alih fungsi lahan menjadikan ini sebagai problem karena berkurangnya lahan pertanian.
Belum lagi produktifitas petani menurun disebabkan mahalnya bibit berkualitas dan juga pupuk. Sehingga impor ibarat solusi namun mematahkan semangat para petani untuk tetap bangkit ditengah keterpurukan.
Kedaulatan Pangan
Jika dalam ekonomi kapitalisme bahwa impor adalah solusi maka Islam memandang pemenuhan kebutuhan pangan rakyat adalah murni tanggung jawab penguasa. Maka bagaimanapun caranya harus dilakukan oleh penguasa untuk memaksimalkan sektor pertanian dalam negeri. Sebab Indonesia dikenal negara agraris maka terlihat paradoks jika terus menerus melakukan impor pangan.
Dalam negara Islam kebijakan pada sektor pertanian adalah meningkatkan produktifitas pertanian. Hal ini harus sejalan dengan kebijakan yang diambil oleh negara, diantaranya intensfikasi pertanian yaitu meningkatkan produktifitas dengan lahan yang tersedia. Negara berupaya untuk memproduktifkan lahan dengan menerapkan teknologi yang menunjang budidaya di kalangan para petani, pemberian pupuk secara gratis, pengadaan mesin-mesin pertanian, menyediakan bibit unggul serta hal-hal yang berkaitan dengan sarana prasarana pertanian.
Kemudian ekstensifikasi pertanian dicapai dengan pembukaan lahan-lahan baru atau menghidupkan tanah yang sudah mati (tidak dikelola). Menghidupkan tanah yang mati adalah mengelola tanah tersebut hingga siap untuk ditanami agar bermanfaat. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].
Kebijakan yang diambil oleh negara ini adalah dalam rangka menjalankan tanggung jawabnya sebagai penguasa. Mereka sadar bahwa mengurus kebutuhan rakyat merupakan pertanggung jawaban dunia dan akan dihisab akhirat. Ibnu umar ra berkata, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ”Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban perhial rakyat yang dipimpinnya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Wallahu ‘alam bishowab
[LM/nr]