Tak Kunjung Hamil, Istri Diancam Cerai
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
Lensa Media News – Seorang wanita asal provinsi Zhejiang, China Timur bernama Xiaomei mengaku diancam suaminya untuk mempunyai anak dalam tenggat waktu dua tahun atau diceraikan. Pasalnya, umur si wanita tahun ini sudah 33 tahun (cnnindonesia.com, 20/4/2023). Artinya, dia bakalan diceraikan kalau sampai usia 35 tahun si istri tidak kunjung hamil.
Memang ada sebagian masyarakat yang meyakini kalau kehamilan di usia lebih dari 35 tahun itu berbahaya. Sehingga banyak ibu-ibu mendesak anak perempuannya yang sudah menikah untuk cepat-cepat punya anak. Jika anak perempuannya belum menikah, maka didesak untuk segera menikah. Alhasil, banyak yang stress dan kabur dari rumah orang tua atau mertuanya.
Tujuan menikah memang untuk membangun keluarga berketurunan, tetapi anak itu pemberian Allah. Mau dipaksa bagaimana pun kalau belum rezekinya punya anak, ya tidak mungkin hamil. Kasus ini menggambarkan kalau ternyata masyarakat hari ini jauh dari agama. Standar di masyarakat memang tidak bisa dikendalikan, beredar pandangan bahwa kita akan salah kalau misal nikahnya ketuaan atau sudah menikah tetapi tak kunjung hamil.
Inilah akibat dari sistem sekuler yang diterapkan. Masyarakat tidak paham konsep qada qadar. Konsep qada qadar harus dipahami, apalagi bagi seorang muslim. Ada hal yang bisa dikendalikan, ada pula yang mengendalikan. Manusia bisa mengendalikan ikhtiar menjemput takdir dengan baik, tetapi ketetapan dan hasil hanya Allah yang mampu mengendalikan. Ajal, jodoh, rezeki, adalah hak prerogatif Allah, maka hamil pun haknya Allah, apakah mau diberikan cepat atau lambat. Maka sikap yang bisa dilakukan manusia adalah bersabar atau marah. Ranah ikhtiar dan sikap inilah yang akan dimintai pertanggungjawaban, sementara sudah hamil ataukah belum itu tak berdosa.
Masyarakat selalu saja kepo dengan kehidupan pribadi seseorang, terutama suka menghakimi seseorang yang tidak sejalan dengan standar di masyarakat. Hal ini terjadi karena memang dibiasakan dan negaranya pun tidak mendidik warganya dengan pemahaman Islam yang utuh, mana yang dinamakan kepo karena ingin saling menasihati atau kepo karena ingin saling menggunjing satu sama lain.
Inilah yang membedakan kondisi masyarakat yang hidup dalam sistem sekuler dengan sistem Islam. Berbeda sekali dalam memahami tujuan hidup di dunia. Jangankan melakukan kemaksiatan, melakukan amal yang sia-sia saja seorang muslim harusnya merasa rugi. Mereka harus fokus memandang bahwa tujuan pernikahan adalah untuk beribadah pada Allah di mana di dalamnya mereka akan menghasilkan dan mendidik keturunan penerus peradaban Islam yang mulia sehingga bisa memanen pahala dari amanah merawat dan mendidik anaknya.
Adapun jika belum mempunyai anak, bukan berarti tidak dapat pahala. Justru dari sabar dan berserah dirilah pahala itu akan datang. Bisa juga dengan terjun dalam medan dakwah yaitu membina generasi muda muslim dan membangun masyarakat hingga mereka sadar akan pentingnya pemahaman dan penerapan Islam dalam skala negara. Dengan demikian, akan terbentuk kepribadian Islam dan tidak ada lagi standar masyarakkat yang bertentangan dengan Islam.
Wallahu a’lam bish showab.
[LM/nr]