Jumlah Kepala vs Isi Kepala, Siapa Pemenang?

Oleh: Ummu Zhafran (Pegiat Literasi)

 

LenSa MediaNews__Demokrasi telah mati. Itu menurut Ricky Gerung dalam salah satu forum diskusi publik di Mataram. (jawapos.com, 24-10-2023) Jika dikaitkan dengan ketetapan ODGJ boleh memilih di Pemilu mendatang, maklum kita akan pernyataan pengamat politik nasional tersebut. Apalagi dengan menerima suara dari ODGJ, tak salah bila publik menuding demokrasi hanya peduli pada jumlah kepala, bukan isi kepala.

 

 

Sekarang kita analogikan jika nanti hasil Pemilu terdapat 1 suara profesor di perguruan tinggi ternama melawan 3 ODGJ, siapa yang unggul? Bisa dipastikan suara orang dengan gangguan jiwa, jawabannya. Meski di luar nalar, namun itulah realitas demokrasi. Bahkan Plato, seorang filsuf Yunani Kuno juga terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya pada demokrasi yang dianut negaranya. Ia meramalkan bahwa semua pemerintahan demokratis pasti akan menimbulkan kekacauan dan anarki. Bahkan Plato menyimpulkan bahwa satu-satunya hasil logis dari demokrasi adalah tirani (Ancient Origins).

 

 

Nyata, demokrasi sejatinya hanya ilusi. Tepatnya, demokrasi menjual mimpi untuk memiliki pemimpin yang melayani dan mengurusi rakyat. Sayangnya entah kapan mimpi tersebut jadi nyata. Sebab dari Pemilu ke Pemilu tak sedikit terjadi kecurangan demi mencapai tujuan. Mengutip dari laman harian nasional, sejak awal bahkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencium adanya berbagai potensi pelanggaran, kecurangan, penyalahgunaan kewenangan pada Pemilu 14 Februari 2024 mendatang.

 

 

Indikatornya antara lain terdapat langkah dan manuver Presiden incumbent yang menunjukkan keberpihakannya kepada calon tertentu, mulai dari endorsement politik, mengaku akan cawe-cawe, dan menyatakan hanya akan ada dua calon presiden yang ikut kontestasi di Pilpres 2024. (kompas.com, 15-11-2023)

 

 

Harus diakui momen Pemilu kali ini membuat demokrasi semakin menunjukkan wajah aslinya. Harusnya tak butuh waktu lama untuk menyingkap bopeng di balik mimpi keadilan dan kesejahteraan yang dijanjikan demokrasi. Hanya saja upaya memahamkan umat tak boleh berhenti. Agar semakin banyak yang menyadari kebobrokan demokrasi dan menolak untuk ditipu yang ke sekian kali.

 

 

Andai rakyat negeri zamrud khatulistiwa yang mayoritas umat Islam ini kembali pada ajaran yang diwariskan baginda Rasulullah saw., yaitu Islam yang sempurna diturunkan dari Yang Maha Pencipta alam semesta.
Sebab bertentangan dengan demokrasi, syariat menuntun masalah kepemimpinan ini dengan mudah dan sederhana. Dalam Islam kedaulatan ditetapkan hanya milik Allah dan kekuasaan ada di tangan umat. Sebagaimana firman Allah SWT,
Tidak ada hukum kecuali hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Yusuf:40)

 

 

Dengan kata lain Islam mengakui Allah Swt. satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbat (sanksi-sanksi). (Tafsir Ibnu Katsir)

 

 

Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk memilih siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan seluruh syariat Allah swt. Namun penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan Islam. Syaratnya (syurûthal-in’iqâd) terdiri dari muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kepemimpinan.

 

 

Selanjutnya dalam ketentuan syariat seorang pemimpin hanya bisa meraih kekuasaan melalui baiat. Dari Ubadah bin Shamit ra., berkata:
Kami membaiat Rasulullah saw. untuk setia mendengarkan dan menaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahulukan. (HR Muslim)

 

 

Berdasarkan hadis tersebut seorang pemimpin mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui baiat. Demikianlah yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem demokrasi. Melalui metode baiat ini tampak keberkahan syariat Al-Khaliq yang mustahil zalim pada makhluk-Nya. Terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur bersama pemimpin yang kredibel, jujur, amanah, terpenting mencintai dan dicintai segenap rakyat menjadi niscaya, sebagaimana janji Allah Swt. Wallaahua’lam

Please follow and like us:

Tentang Penulis