UU TPKS: Legalisasi Zina Melalui Undang-Undang

Oleh: Yulweri Vovi Safitria

(Freelance Writer)

 

Lensa Media News – Sejak disahkan pada 2022 lalu, UU TPKS mulai pada tahap implementasi. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Bintang Puspayoga menegaskan, proses penyusunan dan pembentukan peraturan turunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) sudah memasuki tahapan proses akhir menuju penetapan dan pengundangan (antaranews, 30-11-2023).

 

Produk Gagal

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat bahwa sepanjang Januari-September 2023, setidaknya terdapat 19.593 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Sebanyak 17.347 terjadi pada anak perempuan dengan usia rata-rata 13-17 tahun (databoks.katadata.co.id, 27-9-2023).

Fakta ini menunjukkan bahwa kehadiran UU TPKS yang dianggap pemerintah sebagai wujud kehadiran negara dalam melindungi korban kekerasan seksual, justru makin memicu berbagai tindakan kekerasan. UU yang diyakini mampu mengatasi berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak, seolah menjadi macan ompong. Ironinya, kekerasan terhadap perempuan justru datang dari orang-orang terdekat, baik dari suami, orang tua, dan kerabat lainnya.

 

Aroma Liberalisasi Seksual

Jika dicermati lebih jauh, beberapa pasal dalam UU TPKS dianggap multitafsir dan bisa saja ditarik ulur sesuai dengan kepentingan, misalnya saja pada Pasal 8 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, bisa dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda Rp10 juta (kompas.com, 11-5-2022). Lantas, apakah mereka yang menggunakan alat kontrasepsi secara sukarela kemudian menjadi ‘tidak melanggar hukum’ dan dibolehkan walaupun melanggar norma agama?

Bukan hanya itu saja, aktivitas seksual yang dilarang di dalam UU TPKS hanyalah yang berbasis kekerasan, paksaan, atau yang bertentangan dengan keinginan seseorang. Sedangkan aktivitas seksual yang tidak ada unsur kekerasannya, tidak masuk dalam pembahasan. Lantas, apakah mereka yang melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka atau mendokumentasikannya atas nama koleksi pribadi kemudian dilindungi?

Frasa-frasa yang terkandung di dalam UU TPKS, seperti paradigma persetujuan seksual (sexsual consent) ataupun melindungi korban penyebaran video porno, seolah-olah membiarkan zina dan memberi perlindungan terhadap perilaku seks bebas. Tentu ini berbahaya, khususnya bagi umat Islam.

 

Dampak Sekularisme 

Maraknya kekerasan seksual di tengah-tengah masyarakat tidak bisa dilepaskan dari sistem sekularisme yang diadopsi. Sistem kehidupan yang mengagungkan kebebasan, membentuk individu bebas tanpa batas. Dengan berlindung di balik HAM, kebebasan menjadi hak setiap orang yang harus dilindungi UU.

Sistem sekularisme membentuk manusia tidak lagi memikirkan hubungannya dengan Sang Pencipta. Agama hanya mengatur ibadah wajib dan tidak perlu mengatur kehidupan. Begitu pula dengan tolok ukur kebahagiaan, disandarkan pada pencapaian materi. Pun, pemenuhan syahwat, tidak lagi memperhatikan halal atau haram. Asalkan bisa tersalurkan, aktivitas haram pun dilakukan.

Ironinya, kebebasan yang kebablasan tersebut mengantarkan manusia pada pergaulan layaknya hewan, bahkan lebih hina dari hewan. Manusia menyalahi fitrahnya yang begitu mulia. Propaganda kaum kafir dan musuh-musuh Islam tampak bagai madu, padahal racun yang mematikan.

 

Solusi Islam

Dalam Islam, zina adalah perbuatan haram dan dosa besar. Larangan mendekati zina bukan hanya mendekati dalam makna melakukan hubungan seksual, tetapi mengandung makna yang lebih luas, yakni aktivitas yang membawa seseorang mendekati perbuatan zina. Sebab, laki-laki dan perempuan secara fitrahnya memiliki gharizah nau. 

Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra: 32).

Untuk itu, Islam memiliki seperangkat aturan dalam mengatur interaksi laki-laki dan perempuan dengan menerapkan sistem pergaulan Islam. Hal ini akan menjadi tindakan kuratif dan preventif terhadap kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat.

Dalam sistem pergaulan Islam, hubungan laki-laki dan perempuan diatur berdasarkan akidah Islam. Islam melarang khalwat ataupun mengumbar aurat yang dapat memicu ransangan syahwat. Interaksi laki-laki dan perempuan di ranah publik terbatas pada pendidikan, ekonomi atau jual beli, dan kesehatan.

Islam juga memiliki kontrol sosial dengan senantiasa ber-amar makruf nahi mungkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketaatan, bersifat tegas terhadap kemaksiatan dan kemungkaran.

Islam juga memiliki sanksi tegas terhadap kemungkaran yang bertujuan untuk memberikan efek jera sehingga dapat mencegah berbagai kasus kejahatan yang dapat membahayakan perempuan dan masyarakat secara umum. Semua itu hanya bisa diterapkan ketika negara menerapkan aturan Islam di segala lini kehidupan dalam naungan institusi Islam. Wallahu a’lam.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis