Judi Online Merebak Generasi Muda Terjebak

Oleh: Rifdah Nisa

 

Lensa Media News—Judi online digandrungi khalayak. Tidak hanya menjerat orang dewasa, anak dibawah umur juga bisa menjadi korban judi online. Dilansir dari BBC Indonesia,  laporan terbaru PPATK menemukan 2,1 juta orang Indonesia terlibat judi online, diantaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar dengan penghasilan dibawah Rp100.000. Pelajar yang disebut adalah anak-anak dengan jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA dan mahasiswa (okezone.com/28/23/2023).

 

Merebaknya judi online di kalangan pelajar tidak terlepas dari masifnya penggunaan gadget. Iklan situs judi online kerap kali berseliweran di laman sosial media. Sehingga membuat pengguna gadget mudah untuk mengakses. Selain itu,  untuk pasang taruhan atau deposit uangnya tidak perlu besar,  cukup dengan Rp10.000 sudah bisa berjudi. Cara deposit pun makin gampang, bisa dengan kirim pulsa, dompet eletronik, uang elektrik bahkan QRIS. Berbagai kemudahan inilah yang mendorong kalangan pelajar terjebak pada judi online. Berharap bisa menang untuk meraup keuntungan dengan jalan pintas.

 

Dampak yang mengerikan dalam judi online di kalangan pelajar adalah kecanduan. Jika anak sudah kecanduan cenderung sulit untuk berhenti. Bahkan berpotensi menyalahgunakan hak milik orang lain untuk digunakan berjudi.

 

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi maraknya judi online di kalangan anak-anak, pertama, minimnya edukasi agama pada anak. Pendidikan agama tidak cukup jika hanya didapat dari sekolah. Karena sekolah hanya menjadi sarana  transfer ilmu bukan tempat merealisasikan ilmu yang didapat. Selain itu,  porsi sedikit pelajaran yaitu hanya dua jam dalam seminggu.

 

Edukasi agama bisa lewat keluarga, pesantren atau kajian-kajian Islam secara luas yang mengajarkan bahwa berjudi adalah aktivitas yang dilarang oleh agama. haram hukumnya dan dosa bagi pelakunya.

 

Kedua, minimnya kontrol masyarakat. Sikap masyarakat Indonesia mulai bergeser dari masyarakat gotong royong menjadi masyarakat hedonis dan individualis. Masyarakat jarang berperan untuk melibatkan kalangan pemuda dalam kegiatan desa atau lingkungan tempat tinggal. Sehingga hal ini justru menguatkan pemuda  untuk eksis lewat kegiatan negatif seperti tawuran, balapan, game online termasuk judi online.

 

Ketiga, tidak ada kebijakan pemerintah yang mampu memberantas judi online lewat penerapan hukum. Alih-alih memberantas, para penegak hukum justru melindung bandar judi dengan menarik upeti yang cukup fantastik. Penerapan hukum lewat kebijakan penguasa tidak terlepas dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini.

 

Dalam sistem kapitalisme keuntungan materi menjadi tujuan tanpa memandang halal atau haram.  Aturan dan kebijakan bersumber dari akal manusia walau seolah tampak secara subtansi bagus namun pada prakteknya penegak hukum tersandera oleh para pemilik modal. Wajar jika ada istilah hukum tajam kebawah dan tumpul keatas. Nuansa keimanan luntur tersebab kepentingan pribadi yang mendominasi.

 

Hal ini berbeda dalam pandangan Islam. Judi merupakan aktivitas yang haram dilakukan karena terdapat dharar didalamnya. Pelaku judi akan mendapatkan sangsi hukum yang membuat mereka jera. Negara akan menjaga keimanan masyarakat lewat pendidikan sekolah dengan penerapan kurikulum Islam yang bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam bagi peserta didik.

 

Masyarakat juga berperan melakukan kontrol terhadap individu jika melakukan tindak kriminal dan kemaksiatan sebagai kewajiban amal ma’ruf nahi mungkar. Wallahu ‘alam. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis