Saatnya Perubahan Sistem?

 

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Redpel Lensa Media

 

 

LenSaMediaNews__Dalam pidato politiknya di YouTube PDI Perjuangan, Ahad, 12 November 2023, Megawati Soekarnoputri menyampaikan keprihatinannya secara terbuka kepada media massa. Bahwa akibat praktik kekuasaan yang telah mengabaikan kebenaran hakiki dan politik atas dasar nurani membuat terjadinya praktik berbagai manipulasi hukum. Mega menyitir apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) menyusul Putusan Majelis Kehormatan MK yang mencopot Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK.

 

 

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai, pidato tersebut sebagai pengingat bagi kita semua, untuk melakukan introspeksi kelemahan sistem demokrasi ala barat yang diterapkan sejak era Reformasi di Indonesia. Dan ini adalah fenomena gunung es dari ketidaksesuain karakter bangsa Indonesia dengan sistem yang diadopsi dari barat secara membabi buta, pada saat Amandemen Konstitusi di tahun 1999 hingga 2002 silam. “Mengganti sistem bernegara itu bukan jawaban, karena ibarat pasien salah obat. Yang terjadi bukannya sembuh, tetapi malah keracunan,” katanya.

 

 

Ditambahkan LaNyalla, saat reformasi, kita seharusnya melakukan Amandemen dengan Teknik Adendum, dengan mengakomodasi tuntutan reformasi, sekaligus memastikan kedaulatan rakyat semakin kuat, tanpa mengganti sistem bernegara. Karena rumusan sistem bernegara itu adalah pikiran para pendiri bangsa, yang telah dipelajari dan disepakati, bahwa Indonesia sebagai negara super majemuk dan kepulauan serta tradisi hidup bersama, sudah menemukan sistem tersendiri. Yaitu sistem yang sesuai dengan Pancasila.

 

 

Karena itu, DPD RI menggagas, agar Indonesia lebih berdaulat, adil dan makmur yang bisa dirasakan di seluruh penjuru tanah air, maka kita harus kembali menerapkan sistem bernegara yang dirumuskan pendiri bangsa, dengan menyempurnakan dan memperkuat, untuk menghindari praktik penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.

 

 

Bukan lalu kita buang dan kita ganti total dengan sistem liberal. Akibatnya salah obat. Silakan dicek, dari awal 2014 hingga hari ini, bagaimana kualitas demokrasi langsung? Membaik atau memburuk. Biaya pemilu langsung di Pilkada sampai Pilpres yang terus membengkak, menguntungkan siapa? Lantas siapa yang bisa menjamin akurasi suara Pilpres dari 800 ribu lebih TPS di Indonesia, selain KPU sebagai satu-satunya lembaga setingkat komisi yang berwenang menentukan siapa presiden Indonesia terpilih,” kata LaNyalla.

 

 

Tokoh asal Surabaya ini mengajak semua pihak menggunakan momentum saat ini untuk secara nasional membangun kesadaran kolektif. Bahwa bangsa dan negara ini telah memiliki sistem tersendiri. Bukan sistem liberal barat, juga bukan sistem komunis timur. Tetapi Pancasila. Yang menempatkan penjelmaan rakyat yang utuh dan lengkap di lembaga tertinggi negara. Presiden itu hanya mandataris, yang diberi tugas untuk melaksanakan Haluan Negara yang dibuat oleh penjelmaan rakyat (republika.co.id, 13-11-023).

 

 

Jika Perlu Perubahan, Mengapa Bukan Kembali Kepada Islam?

Memang layak kita merasa prihatin dengan kondisi politik negeri ini. Yang kian hari kian liberal, namun mau tidak mau kita pun harus legowo, sistem demokrasi yang diterapkan hari ini memang akan melebar kemana-mana. Sebab asasnya adalah sekuler, atau tidak ada agama sebagai pondasi. Kedaulatan ada di tangan rakyat, yang itu artinya pembuat hukum adalah manusia.

 

 

Meski yang selalu dikatakan adalah suara rakyat diwakilkan kepada wakil rakyat di parlemen, namun pada praktiknya itu tidak independen sama sekali. Banyak celah dan peluang masuknya berbagai kepentingan yang lebih besar lagi, yang kemudian menggeser keinginan umat itu sendiri.

 

 

Apalagi yang menjadi kepentingan lebih besar jika bukan aliran dana guna membiayai perhelatan pemilihan pemimpin itu sendiri serta tetap langgengnya sistem politik demokrasi itu. Fakta yang disampaikan Lanyalla benar adanya, politik demokrasi mahal. Dan tak ada makan siang gratis alias “no free lunch”, setiap sen uang yang keluar membawa konsekwensi tersendiri, di antaranya jaminan sistem ini tetap berlangsung. Maka orang-orang yang duduk di dalamnya pun harus paham dan sepakat, bahwa mereka ada untuk melanggengkan kepentingan para pemodal dan bukan rakyat.

 

 

Namun, jika ingin perubahan, mengapa harus kembali kepada Pancasila? Manusia mana di alam demokrasi ini yang benar-benar mengamalkan Pancasila sebagai way of life mereka? Justru sejak awal, ada 7 kata yang dihilangkan dari rumusan Pancasila yaitu kewajiban penerapan syariat Islam hanya demi “rakyat” Indonesia bagian Timur tidak merasa minoritas.

 

 

Belum lagi dengan istilah Pancasila sendiri yang berubah berkali-kali, menandakan rumusan ini tak baku. Bagaimana bisa jadi pondasi tegaknya suatu bangsa jika tak baku?
Perubahan sistem yang tidak akan menjadi racun sebagaimana yang dikhawatirkan Lanyalla pastilah Islam. Sebab Islam telah ditetapkan sebagai agama yang Allah ridai, dan faktanya Islam adalah ideologi karena mengandung akidah dan aturan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah swt. yang artinya,” Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.” (TQS al-Baqarah:185). Wallahualam bishshawab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis