Penyalahgunaan Kekuasaan Satu Keniscayaan dalam Demokrasi

Oleh : Mega Puspita

 

LensaMediaNews__Dua menteri kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpartisipasi dalam Pilpres 2024. Keduanya adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD yang menjadi cawapres Ganjar Pranowo. Kemudian Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang menjadi capres berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka.

 

Menyoal hal tersebut, pakar komunikasi politik Ari Junaedi berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi Pilpres 2024, termasuk mereka yang menjadi bacapres dan bacawapres untuk segera mundur dari jabatannya.

 

Namun, menanggapi hal itu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik mengatakan bakal calon presiden maupun calon wakil presiden yang masih berstatus sebagai Menteri tidak perlu mundur dari jabatannya selama mendapat izin dari Presiden untuk cuti. Aturan KPU seperti ini, jelas memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan. Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara, apalagi didukung regulasi yang ada.

 

Ini adalah salah satu dampak dari peraturan yang dibuat oleh manusia, buah kedaulatan di tangan rakyat ala demokrasi. Tinggallah suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi, menjadi tidak berarti, sebab suara rakyat yang dimaksud sejatinya hanya segelintir orang, yakni mereka yang terpilih dari proses pemilu dan menduduki kursi kekuasaan.

 

Dan bisa dipastikan, proses pemilu yang mahal dalam demokrasi menjadikan penguasa yang terpilih tunduk pada partai pengusungnya maupun korporasi yang menyokongnya. Artinya ada kepentingan ekonomi, politik dan ideologi dari penerapan sistem demokrasi di negeri-negeri muslim. Sungguh melalui demokrasi telah lahir negara yang dikontrol oleh korporasi.

 

Kondisi berbeda akan kita temukan, dalam sistem Islam yakni Khilafah. Secara konsep, Islam menetapkan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan syariat, bukan di tangan manusia. Dalam hal ini penguasa, inilah pilar utama negara Khilafah. Dengan pilar, ini UUD, UU dan peraturan turunannya digali dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma sahabat dan Qiyas.

 

Adapun manusia tidak memiliki peran sama sekali, kecuali menggali hukum dari dalil-dalil tersebut dan mengaitkannya dengan fakta hukum yang terjadi. Sistem ini secara otomatis akan menutup peran manusia untuk mempengaruhi regulasi yang bias pada kepentingan mereka.

 

Kekuasaan tertinggi memang diberikan kepada penguasa (khalifah), namun ia wajib taat pada aturan Islam, sebagai aturan yang dilegitimasi dalam negara Islam yakni Khilafah. Partai politik dan umat juga secara konsisten diwajibkan untuk mengawasi perjalanan pemerintahan, sehingga kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan syariat Islam dapat segera diidentifikasi dan dihilangkan.

 

Sementara itu, dalam pengangkatan Khalifah terdapat metode baku yaitu bai’at . Bai`at ini adalah istilah lain untuk akad (kontrak) politik di antara dua pihak, pihak pertama adalah umat Islam atau para wakil umat yang sering disebut ahlul halli wa aqdi atau Majelis Umat. Bai`at mengandung komitmen dari pihak umat untuk menaati Khalifah yang dibai’at. Adapun Khalifah yang dibai’at berkomitmen untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di tengah-tengah umat.

 

Sedangkan yang tidak baku adalah teknis pemilihan khalifah sebelum pembai`atan, yang memang tidak tunggal, tetapi mengambil cara yang berbeda-beda. Perbedaan teknis pemilihan kalifah pra-baiat tersebut, diketahui secara luas oleh para sahabat Rasulullah SAW. Dengan demikian telah terwujud Ijma sahabat mengenai kebolehan berbagai macam cara pemilihan khalifah, sebelum pembai’atan Khalifah. Jika pra-pembai’atan dilakukan proses pemilihan, sebagaimana di masa pemilihan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab , maka proses pemilihan berlangsung sangat singkat maksimal 3 hari. Setelah itu khalifah terpilih, akan langsung menjalankan tanggung jawabnya mengurusi kemaslahatan rakyat.

 

Jika calon khalifah berasal dari pejabat pemerintahan sebelumnya, maka tugasnya akan digantikan oleh pihak lain di masa kekosongan khalifah tersebut. Dan sekali, lagi kondisi demikian tidak berlangsung lama dan hal ini akan menutup celah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh calon khalifah. Selain itu, ketegasan Islam akan adanya pertanggungjawaban di akhirat, dapat menjaga setiap orang termasuk calon pemimpin untuk taat pada aturan Allah dan Rasul-Nya, termasuk mengutamakan kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin.

Please follow and like us:

Tentang Penulis