Gurita Korupsi dalam Lingkup Penguasa Demokrasi

Oleh: Reski Prastika, S.H.
Lensamedianews.com, Opini – Dalam dua pekan  terakhir media nasional ramai memberitakan kasus korupsi yang lagi-lagi melibatkan kementerian, dan paling parahnya juga menyeret petinggi dan orang dalam KPK. Kasus tersebut telah memasuki babak baru, sang mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka.
Di sosial media pun telah ramai besaran dana yang dipalak sang menteri tersebut kepada para bawahannya. Meski masih sebatas dugaan dan belum pasti kebenarannya, tetapi seperti yang sudah-sudah kasus korupsi yang mencuat ke permukaan tentu dibantah habisan-habisan oleh tersangka sebagaimana Anas Urbaningrum yang berani digantung di monas jika terbukti korupsi, tetapi kenyataannya lama mendekam di Hotel Prodeo karena terbukti melakukan korupsi.
Pun kasus korupsi tidak pernah hanya melibatkan satu pihak saja, kini sinetron korupsi terbaru dengan Menteri Pertanian sebagai aktor utama juga menyeret nama ketua KPK aktif yaitu Firli Bahuri. Sungguh suatu kerja sama yang apik, tentu tak terbayang oleh sang menteri jika pungli yang dilakukannya akan terendus karena telah bekerja sama dengan sang ketua yang katanya bertugas memberantas korupsi.
Lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi nyatanya tidak luput dari orang-orang yang pro korupsi. Sudah jadi rahasia umum korupsi di negri ini dilakukan secara tim dan terorganisir dengan baik. Orang-orang yang tetangkap mereka hanya sebagai tumbal saja agar nampak bahwa aparat hukum serius menangani kasus korupsi.
Pasca runtuhnya masa orde baru yang katanya sarat akan korupsi, kemudian mulailah masa Reformasi yang digadang-gadang akan menghilangkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang telah mengakar. Nyatanya, korupsi pada masa orde baru dilakukan di bawah meja atau sembunyi-sembunyi, pada masa reformasi dilakukan di atas meja.
Daftar kasus korupsi semakin panjang. Baik yang dilakukan pejabat negara maupun warga sipil, sebut saja suap-menyuap untuk jadi PNS, polisi, tentara, bahkan masuk perguruan tinggi pun sarat permainan uang. Penyebab korupsi makin menggurita. Mencari pejabat yang benar-benar bersih dari KKN dalam sistem demokrasi laksana mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kalaupun ada, tentu akan menjadi musuh oligarki. Seperti kasus yang menimpa Antasari Azhar, sang punggawa pertama KPK, entah benar ia bersalah atau tidak, yang jelas di tangannya KPK cukup disegani. Begitu pun dengan malapetaka yang menimpa penyidik senior KPK Novel Baswedan yang disiram air keras di pagi buta, sampai sekarang aktor intelektual di baliknya tidak pernah tersentuh hukum.
Lainnya halnya bagi mereka yang bisa diajak kerjasama untuk berbagi kue kekuasaan dan menjadi kaki tangan oligarki (menjadi penguasa boneka, kacung asing dan aseng). Maka dapat dipastikan orang seperti ini akan dipoles oleh media, didandani dengan cantik agar mempunyai reputasi yang baik di depan publik.
Belum lagi dalam sistem demokrasi tidak adanya kejelasan standar benar-salah dan baik-buruk. Semuanya tergantung pada suara mayoritas. Jika sesuatu tersebut dilakukan oleh banyak orang dan sering diulang-ulang maka lambat laun hal tersebut akan menjadi kebenaran dan kebiasaan umum di tengah masyarakat.
Selanjutnya yang juga merupakan faktor KKN semakin merebak adalah sekularisasi (pemisahan agama dari kehidupan) yang merupakan produk dari demokrasi. Para pejabat saat ini benar-benar memisahkan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhiratnya. Seolah apa yang dilakukannya selama menjabat tidak akan dihisab di yaumil hisab kelak. Agama hanya digunakan sebagai politik identitas semata.
Solusi Tuntas Memberantas Korupsi
Meletakkan tanggung jawab pemberantasan korupsi pada suatu lembaga semacam KPK sama saja bagai menegakkan benang basah. Korupsi dalam sistem domokrasi adalah suatu keniscayaan. Apabila hendak memberantas korupsi harus dimulai dengan mencabut akarnya. Yaitu meninggalkan sistem demokrasi dan semua turunannya seperti paham liberalisme, sekularisme, dan gaya hidup hedonisme.
Satu-satunya cara untuk memberantas korupsi ialah kembali pada sistem Islam bukan hanya beragama Islam. Dalam Islam standar hukum jelas yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Benar-salah tidak ditentukan oleh manusia tetapi pada Sang Khaliq pencipta manusia. Sebagaimana firman-Nya, “…Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang baik.” (QS Al-An’am [6]: 57).
Islam mengharamkan korupsi dalam bentuk apa pun. Islam memiliki berbagai mekanisme yang mampu mencegah tindak korupsi secara tuntas. Di antaranya adalah menghadirkan rasa takut pada diri penguasa untuk berbuat curang karena dilandasi iman kepada Allah dan kesadaran akan hari pembalasan, dimana  setiap jiwa akan bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.
 كُلُّ نَفْسٍۭ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS Al- Muddatstsir [74]: 38).

Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis