Halal tapi Dibenci, Mengapa Memilih Cerai?

Oleh: Ummu Zhafran

(Pegiat Literasi)

Lensa Media News–Perbuatan apa yang halal tapi mengundang murka Allah? Jawabnya satu, bercerai! Ya, mari simak sabda Baginda Nabi Saw., “Perkara halal yang sangat dibenci Allah Swt. ialah talak (cerai)” . Di riwayat lain juga senada, “Nikahlah kalian dan jangan kalian bercerai, karena sesungguhnya perceraian itu menggetarkan Arasy.” (Kasyful Ghummah).

 

Dalil di atas harusnya lebih dari cukup menjadi tuntunan umat muslim dalam menyikapi soal talak ini. Meski tak menutup kemungkinan bila perceraian bisa jadi solusi dari masalah yang dihadapi demi bahagia yang tak kunjung menghampiri. Namun ibarat pintu darurat di dalam sebuah pesawat terbang, tak boleh dibuka sembarang. Begitu pula seharusnya bercerai, tak layak dilakukan dengan mudah semudah menjentikkan jari jemari.

 

Malangnya, realitas yang ada kini menyajikan sebaliknya. Semakin tingginya angka perceraian dari waktu ke waktu jadi bukti semakin mudahnya membuka pintu darurat. Melansir dari salah satu laman berita skala nasional, terdapat 516 ribu kenaikan jumlah pasangan yang bercerai setiap tahun. Hal yang menurut Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof Dr Kamaruddin, terbilang fantastis. Karena artinya lahir 516 duda dan janda baru hanya dalam rentang waktu setahun. Belum terhitung anak-anak yang kehilangan pasca perpisahan. (republika.id, 22/9/2023).

 

Menggelitik untuk dikaji, mengapa makin banyak pasangan yang notabene muslim memutuskan perkara halal tapi dibenci Allah ini. Berbagai faktor biasanya dituding sebagai pemicu. Masalah ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, ketidakcocokan, kesehatan reproduksi serta perselingkuhan hanya beberapa di antaranya. Terbaru, bahkan perilaku seks menyimpang juga masuk dalam daftar alasan di balik gugatan cerai yang dilayangkan. Memilukan.

 

Dari sederet alasan di atas, setidaknya terdapat tiga problem utama. Lemahnya iman dan pemahaman akan kehidupan berumah tangga pada individu, khususnya generasi muda. Akibatnya keluarga-keluarga muslim kehilangan visi dan tujuan ke arah mana biduk pernikahan dilayarkan. Menikah tak lagi dipandang sebagai bentuk ibadah, di mana di dalamnya suami dan istri berlomba dalam ketaatan pada syariat. Menunaikan yang wajib dan menimbang hak mana yang akan dituntut, semata karena ingin meraih Ridho Allah yang merupakan esensi dari ibadah. Tentu bukan sekedar mengejar kenikmatan dunia yang pastinya diukur sebatas yang terindra; ketampanan, kecantikan maupun kekayaan.

 

Di sisi lain, kepekaan masyarakat akan masalah di sekitarnya juga perlahan menguap. Mekanisme Islam yang mengharuskan hadirnya sosok penengah dalam perselisihan rumah tangga dari kalangan kerabat dan masyarakat secara umum lambat laun ditinggalkan. Paham individualisme sedikit banyak berkontribusi dalam hal ini. Kekhawatiran dituduh ikut campur urusan orang, walaupun masih ada hubungan kerabat menimbulkan sikap cuek dan minim empati. Jadilah konflik suami istri kian meruncing berujung masing-masing mengambil jalan sendiri.

 

Berikutnya, negara abai dalam pemberian edukasi menyeluruh terkait kehidupan pranikah hingga pasca nikah. Harus diakui orientasi kurikulum pendidikan yang semakin tampak mengejar materi dan prestise tak urung meninggalkan aspek spiritual di dalamnya. Hasilnya menggejala generasi stroberi yang kreatif dan inovatif dalam menumpuk pundi-pundi kekayaan namun rapuh ketika problem datang menyapa. Termasuk saat menghadapi konflik rumah tangga. Hal itu karena mereka kehilangan pedoman dalam hidupnya bagaikan layang-layang putus. Maklum bila tak sedikit akhirnya yang mengambil jalan pintas. Baik dengan perselingkuhan, penyalahgunaan obat terlarang maupun perceraian.

 

Duh, betapa fatal imbasnya ketika syariat Nabi saw. yang kaffah ditinggalkan. Tak hanya berdampak pada level individu, tapi juga masyarakat hingga negara. Sebab sejatinya Islam memang menjawab seluruh problematik hidup, menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Menaatinya jelas merupakan suatu keharusan, konsekuensi dari sebuah keimanan. Tak layak memisahkannya dari kehidupan sebagaimana paham sekularisme yang berlaku kini. Walau untuk menaati syariat sungguh berat. Tak jarang mengundang cacian, hinaan, hingga stigma fanatik dan radikal dari sekitar. Namun benarlah kondisi yang digambarkan Rasulullah saw.:“Akan datang suatu masa, orang yang bersabar berpegang teguh pada agamanya, seperti menggenggam bara api” (HR. Tirmidzi no. 2260).

 

Tapi apa hendak dikata, tiada pilihan selain harus menggenggam erat bara tersebut, jangan sampai lepas. Sebab semua bakal dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Sang Maha Pencipta. Dengan sendirinya, tanpa ketaatan tiada arti hidup di dunia. Zonk! Anda setuju bukan? Wallaahua’lam. [LM/UD/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis