Dari Kemunculan di Video Azan Hingga Dukungan Ulama Khos

Oleh : Hanif Kristianto

(Analis Politik-Media)

 

Lensa Media News–Bagaimana jika tiba-tiba ada politisi muncul di video adzan? Apakah ini bentuk politik identitas? Ataukah sebuah komunikasi politik demi meraih simpatik? Sungguh menarik melihat tingkah pola politisi demokrasi. Berkoar-koar menolak politik identitas (khususnya identitas Islam), tapi di sisi lain memanfaatkan nuansa kebatinan umat beragama. Tampaknya politisi akan sangat kesulitan jika tidak menggunakan identitas agama untuk meraih suara. Pasalnya, mayoritas pemilih di negeri ini adalah muslim.

 

Seolah tak mau kalah. Kyai khos dan santri pun berdeklarasi. Dukungan terhadap politisi demokrasi menjadi stempel untuk layak didukung dan dipilih. Entah pertimbangan apa yang ada di benak kyai dan santri. Seolah menegasikan standar politik dalam Islam berkaitan urusan kepemimpinan. Dukungan ini lebih pada komunikasi politik ke publik untuk Bargaining Position sang politisi. Rasanya kalau tidak didukung kyai dan santri, ibaratkan makanan tak enak kalau tanpa kerupuk.

 

Jika politisi telah memberikan sinyal dan muncul di semua media, maka ini tanda pemilu sudah dekat. Mereka berlomba-lomba mendekati rakyat. Sebuah sinyalemen menggalang dukungan demi meraup suara kemenangan.

 

Muncul dalam Peristiwa Keagamaan

 

Mungkinkah politisi demokrasi melepas identitas agamannya? Perihal ritual keagamaan mungkin tidak, namun di luar ritual agama kerap dipisahkan. Muncul di peristiwa keagamaan, seperti azan, salat, bershalawat, tabligh akbar dan lainnya, menjadi poin penting. Pasalnya di sinilah umat akan menilai seberapa dekat dengan rakyat.

 

Akhirnya publik pun bertanya, haruskah sebegitu rupa muncul dalam peristiwa keagamaan? Inilah beberapa analisisnya:

 

Pertama, politisi paham jika konstituen di Indonesia mayoritas umat Islam. Ini menjadi bukti jika mampu merebut suara umat Islam, maka selesai semua urusan. Ujungnya ada kemenangan. Di sisi lain, umat Islam yang jauh dari pemahaman politik Islam dimanfaatkan dalam euforia pesta demokrasi. Umat terkadang ditakuti dengan pengawasan tempat ibadah untuk mencegah kemunculan polarisasi dan penyebaran ide radikal ‘politik identitas’.

 

Kedua, politisi paham jika di Indonesia hidup ragam agama dan kepercayaan. Maka mereka mengakomodasi dan mendekati sesuai agama dan kepercayaan masyarakat. Intinya, politisi itu akan menjadi presiden semua agama. Karenanya dalam beragam perayaan, politisi akan hadir dengan outfit sesuai kondisi acara.

 

Ketiga, komunikasi politik tidak sekadar verbal dan janji-janji politik. Cukup hadir dalam video azan dan agenda keagamaan menjadi penilaian positif publik. Apalagi didukung oleh ulama khos dan santri yang berarti mendapat restu dari kalangan suci. Gestur politik dalam bahasa tubuh akan lebih berkesan karena sesuainya ucapan dan perbuatan.

 

Keempat, selama masa kampanye dan pencalonan, politisi demokrasi tak mungkin galak. Penampilannya akan dipoles, dielus, dan dipermak sedemikian rupa. Menjauhi segala kesalahan dan menahan diri hingga waktu pemilu tiba. Ibaratnya masih ‘puasa’ untuk tidak berbuat yang malah menjauhkan dari calon pemilih. Ucapannya manis penuh harapan, tindakannya mulia seolah manusia sempurna, dan prestasinya dielu-elukan di mana-mana.

 

Kelima, partai politik hanya sebagai kendaraan. Sementara yang menentukan bisa menduduki jabatan ialah suara dalam pemilihan. Merebut hati rakyat menjadi kunci kemenangan. Sekuat apapun partai politik dengan sumber dayanya, tapi kalau tidak mendapat dukungan rakyat akan kalah juga. Karena itu, rakyat sebenarnya menjadi penentu. Nah, rakyat terkadang silau apa yang dilakukan dalam kampanye tak luput dari upaya kamuflase. Meski itu tidak semuanya.

 

Jadi ke depan tidak mengherankan, urusan politik akan bercampur dengan identitas keagamaan calon politisi. Kondisi ini tercipta untuk memunculkan personal branding dan persepsi baik bagi pemilih.

 

Mendudukan Agama dan Politik

 

Karakter politik demokrasi tidak mampu mendudukan agama dengan politik secara benar. Pasalnya demokrasi berlandaskan memisahkan agama dari kehidupan. Agama sekadar simbolik untuk mendekat ke publik. Alhasil, dalam kampanye politik agama bisa menjadi senjata pemikat. Sebaliknya, aturan agama tak akan diambil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Kondisi ini berbeda dengan politik Islam yang mampu mendudukan agama dan politik secara proporsional. Politik dalam Islam merupakan bagian dari agama. Bahkan tujuan adanya pemerintahan dalam Islam itu untuk menjaga agama dan mengurusi urusan rakyat dengan syariah.

 

Agama (Islam) hadir tak hanya simbolik. Lebih dari itu bisa diaplikasikan dalam kehidupan publik. Menghadirkan agama dalam kehidupan merupakan sebuah kemuliaan sebagai wujud tunduk pada Allah Sang Pencipta Alam. Tujuannya jauh dari pencitraan, karena ini tugas penuh kemuliaan. Ketika politisi itu menampilkan kepribadian Islami, maka itu wujud yang asli. Tak banyak janji-janji yang terucap, karena Islam telah memandu cara berbangsa dan bernegara yang menghasilkan rahmat.

 

Rakyat yang mayoritas muslim di negeri ini perlu menyadari politik Islam. Politik yang bukan identitas, tapi politik yang berkualitas. Politik yang mendorong politisi memiliki amanah, takwa, dan taat syariah. Rakyat adalah fokus utama dalam urusan hidup dan matinya, karena rakyat adalah amanah. Jadi politisi Islam tidak sekadar muncul di video azan dan mendapat dukungan ulama khos, tapi juga terwujud sebagai pribadi yang khas.

 

Rakyat perlu memasang alarm dan kesadaran. Jangan mudah terkecoh dengan manuver yang tampak baik. Tetap fokus dan ingat, jika agama (Islam) telah memiliki seperangkat aturan politik yang jelas. Mungkin ada benarnya jika ungakapan ‘jangan menilai orang dari luarnya’. Nah, jangan menilai calon pemimpin dan politisi saat ini dari luarnya. Lihat visi-misinya dan komitmennya dalam menjalankan syariah kaffah!

 

Ulama khos dan santri memiliki tanggung jawab penting untuk memandu umat. Merekalah pelita di tengah kegelapan dunia yang carut marut oleh sistem kehidupan yang sudah jauh dari Islam. Tanggung jawab ini tidak bisa dilakukan sendiri, tapi dipikul bersama-sama untuk mewujudkan kehidupan lebih bermakna dan berkah.[LM/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis