Larangan Jualan di TikTok, akankah Menjadi Solusi Ekonomi Dalam Negeri?

Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

 

 

LensaMediaNews__Tingkat penjualan berbasis media sosial, khususnya TikTok Shop, mengancam pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Banyak gerai-gerai tutup karena sedikitnya pembeli. Bahkan omzet para pedagang pun menurun drastis hingga 50 persen. Lantas, benarkah kebijakan yang melarang penjualan via TikTok, mampu mengendalikan keterpurukan ekonomi?

 

 

Akar Masalah Tak Tersentuh, Ekonomi Makin Kisruh

 

Candu TikTok Shop semakin membuat masyarakat sakau, alias ketagihan. Pundi-pundi rupiah dengan mudah mengalir tanpa harus bersusah payah. Ini pun menjadi daya tarik tersendiri bagi pegiat UMKM. Mereka gencar pasarkan produk hingga berujung viral dan menghasilkan rupiah yang menjanjikan. Modal jualan pun jadi relatif murah. Tak perlu ada biaya sewa toko dan bayar pegawai. Tinggal nyalakan lampu sorot, rekam, dan jadilah konten bisnis yang siap dibagikan ke berbagai penjuru. Harga barang yang ditawarkan pun jauh lebih murah ketimbang harga toko. Ditambah iming-iming bonus, potongan harga dan bebas biaya ongkir, tak ayal TikTok Shop menjadi ajang pemasaran yang menggiurkan.

 

 

Namun sayang, seiring dengan maraknya penggunaan TikTok Shop atau media sosial untuk pemasaran lainnya, justru pemasaran offline alias toko dan pasar mengalami kemerosotan tajam. Pasar Tanah Abang misalnya, tak sedikit pedagang yang harus gulung tikar (infobanknews.com, 13-9-2023). Sepinya pengunjung, sementara stok barang yang terus bertambah. Kondisi ini tentu merugikan bagi para pedagang. Dan kondisi demikian terjadi sejak TikTok marak digunakan. Pasar sudah pindah alam, hingga beralih ke alam yang lebih menguntungkan, demikian celoteh salah satu pedagang di Tanah Abang.

 

 

Platform belanja online TikTok merajai pasar Asia Tenggara, salahsatunya Indonesia. Data terbaru dari ByteDance, nilai transaksi TikTok meroket empat kali lipat selama 2022.

 

 

Sebetulnya menjajal peruntungan via e commerce sudah dilakukan beberapa pedagang (tempo.co.id, 19-9-2023). Namun impian tak sesuai harapan. Hal ini diakui salah satu penjual di pasar Tanah Abang. Sampai mulut berbusa memasarkan via live shopping, tak menjadikan omzetnya meningkat. Bahkan hasilnya pun sama saja. Hingga akhirnya pedagang kembali berjualan di toko.

 

 

Menanggapi hal tersebut, pemerintah akan merencanakan pelarangan jualan via TikTok Shop. Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa perusahaan media sosial tidak boleh menawarkan layanan ecommerce di platform yang sama. Hal tersebut diungkapkan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, yang memberikan jawaban tegas saat ditanyakan terkait langkah TikTok yang menawarkan layanan bagi penggunanya untuk berjualan lewat fitur “live” di TikTOk (CNBCIndonesia.com, 13-9-2023).

 

 

Kebijakan yang diambil pemerintah dengan pelarangan TikTok Shop tak sepenuhnya mampu mendongkrak perekonomian dalam negeri. Semua ini sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh negara tentang prosedural dan teknis perdagangan retail dalam negeri. Harga yang lebih murah yang tersaji via e commerce karena membanjirnya produk asing, terutama China yang terus mengimpor barangnya ke Indonesia. Segala regulasi ini memudahkan mereka untuk mencabik-cabik pasar dalam negeri. Dan barang-barang impor ini pun membanjiri e commerce, yang harga barangnya disinyalir jauh lebih murah.

 

 

Sistem kapitalisme pun memandang bahwa barang-barang impor yang dikenai bea cukai akan menjadi sumber devisa potensial bagi negara. Harapannya, pundi devisa negara bertambah. Namun, faktanya konsep banjirnya pasar lokal oleh barang-barang impor murah justru mematikan pasar dalam negeri. Ekonomi dalam negeri makin tak karuan.

 

 

Di sisi lain, nasib barang dalam negeri yang mayoritas diproduksi UMKM, justru harus menghadapi teknis yang sulit. Harga bahan-bahan modal yang mahal ditambah beragam administrasi yang berbelit dan berbayar. Seperti pengurusan izin halal, izin edar, dan SNI. Semuanya biaya harus ditanggung mandiri. Tentu saja, hal ini memberatkan. Jika segala kelengkapan produk tak lengkap sesuai kriteria, negara akan menarik produk dari pasaran. Inilah sadisnya ancaman pasar dalam negeri. Bagaimana rakyat tidak kelabakan dengan segala kebijakan yang telah ditetapkan?

 

 

Semestinya, negara mampu membenahi kebijakan-kebijakan pasar dalam negeri dengan tidak memudahkan produk asing yang masuk. Tentu saja, kebijakan pelarangan TikTok Shop untuk memperbaiki ekonomi yang tengah kalut, sebetulnya tak menyentuh akar masalah. Pokok masalahnya adalah kebijakan impor yang semrawut. Kebijakan pelarangan TikTok Shop bukanlah kebijakan tepat di tengah transformasi digital yang terus digiatkan.

 

 

Betapa buruknya tata kelola perdagangan ala kapitalisme. Segala kemudahan aturan dan regulasi dimudahkan negara demi keuntungan korporasi oligarki. Sementara nasib ekonomi rakyat justru tergadaikan.

 

 

Islam, Menjaga Ekonomi Dalam Negeri

 

Islam menyuburkan jual beli. Kriteria perdagangan pun, sempurna ditata dalam pengelolaan syariat Islam.

 

 

Terkait perdagangan luar negeri, yaitu proses mengimpor dan mengekspor barang, sebetulnya mubah hukumnya. Syekh Taqiyuddin An Nabhani, menjelaskan dalam Kitab Nidzamul Iqtishodiyyu fii al Islam, impor dan ekspor diperbolehkan, selama aturan perdagangan tunduk sepenuhnya kepada aturan negara yang menjadikan Islam sebagai poros peraturan ekonomi dalam negara. Negara dengan sistem Islam memiliki kewenangan sepenuhnya dalam rangka mengatur pedagang dari negara kafir harbi (negara yang memerangi Daulah Islam) atau negara mu’ahid (negara kafir yang mengadakan perjanjian dengan Daulah Islam).

 

 

Ekonomi rakyat menjadi fokus utama yang dikembangkan sepenuhnya oleh negara. Mengingat konsep utama negara Khilafah, rakyat adalah prioritas utama dalam pelayanan negara. Semua ditujukan demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat sebagai bentuk ketundukan pada hukum syara’. Produk dalam negeri akan dikembangkan secara optimal dengan kecanggihan teknologi, produksi dan pemasarannya. Negara pun akan membantu secara maksimal, terkait prosedur kelayakan barang, izin edar, label halal produk, dan SNI, semua difasilitasi negara demi kemudahan ekonomi rakyat.

 

 

Kebijakan pembatasan impor pun ditetapkan Daulah. Demi menjaga optimasi dan menjaga eksistensi produk dalam negeri. Selama produk-produk lokal masih bisa diproduksi mandiri dalam negeri, Daulah Khilafah tak akan membuka pintu impor. Apalagi impor dari negara kafir harbi. Karena akan berujung pada rusaknya kemandirian Daulah.

 

 

Demikianlah, Islam menjaga ekonomi dalam negeri dengan sempurna. Demi kesejahteraan umat seutuhnya.

Wallahu a’lam bishshawab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis