Grasi Massal Napi Narkoba, kok bisa?
Oleh: Ria Nurvika Ginting, SH, MH (Dosen FH)
Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. mendorong Presiden Jokowi memberikan grasi massal kepada narapidana pengguna narkoba. Hal ini disampaikan anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum kelompok kerja (Pokja) Reformasi Lembaga Peradilan dan Penegakan Hukum, RifqiSjarief Assegaf, dalam konferensi pers di Command Center Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (15/09/2023). (Kompas.com, 15/9/2023)
Grasi Massal ini direkomendasikan karena adanya upaya untuk mengatasi over crowded lapas. “Kita melihat ada isu besar over crowded lapas, hampir 100 persen lapas secara total over crowded, dan itu kita mendorong ada grasi massal terhadap pengguna narkoba, atau penyalahgunaan narkoba,” ujar anggota Tim Percepatan Reformasi hukum dari Kelompok Kerja (Pokja) Reformasi Pengadilan dan Penegakan Hukum, Rifqi S. Assegaf dalam konferensi pers di Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan keamanan, Jakarta, Jumat (15/9) (Mediaindonesia, 16/9/2023). Hal ini menunjukkan betapa banyaknya kasus pengguna narkoba, sekaligus menunjukkan hukuman yang diberikan tidak berefek jera karena kasus narkoba buka makin sedikit tapi semakin banyak sampai terjadi over crowded-nya lapas.
Pemberian Grasi ini ditentukan dengan beberapa syarat. Ada klasifikasi yang dilihat terlebih dahulu. “Tentu ada klasifikasi yang harus dilihat kalau pelaku ada tindak pidana lain itu dua hal yang berbeda. Kami tegaskan beberapa hal yang menjadi catatan bukan residivis, bukan pelaku tindak pidana lain dan sebagainya,”ujar Rifqi (Kompas.com, 15/9/2023).
Rekomendasi tersebut telah diserahkan kepada Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis, 14 September 2023. Presiden mengaku tengah mempelajari hasil rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum. Apakah Grasi ini dapat menjadi solusi over crowded-nya lapas? Atau, apakah akan menimbulkan masalah baru dengan ringannya hukuman bagi pengguna narkoba? Akibatnya pengguna narkoba tidak ada rasa jera, meskipun salah satu klasifikasi dari yang mendapatkan grasi bukan yang residivis (mengulang kejahatan yang sama).
Akar Masalah
Grasi merupakan upaya hukum istimewa yang dapat dilakukan atas putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1 (1) UU No. 22/2002, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Dari sini maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa keputusan yang ditetapkan pengadilan yang telah berkekuatan tetap dapat berubah atau dibatalkan.
Isu over crowded-nya lapas dengan banyaknya penghuni lapas adalah pengguna narkoba, menunjukkan bahwa narkoba dengan leluasanya dan bebas beredar ditengah-tengah masyarakat terutama ditengah-tengah anak-anak kita generasi penerus bangsa ini. Rekomendasi grasi massal narapidana pengguna narkoba ini menunjukkan betapa sepele nya negeri ini terhadap kasus penggunaan narkoba. Pengguna narkoba tidak dianggap sebagai aktivitas kriminal yang harus diberikan sanksi tegas sehingga diberikan grasi. Selain itu, muncul pertanyaan apakah memang hanya over crowded atau untuk mengurangi APBN?
Kasus Penjara (Lapas) yang merupakan salah satu sanksi yang diberikan kepada para pidana pelaku kejahatan (kriminal) banyak sekali menunjukkan bahwa hukum kita saat ini tidak memberikan efek jera. Dari Remisi Idul Fitri dan Remisi HUT RI-78 bulan lalu menunjukkan bahwa hal ini dilakukan hanya untuk mengurangi beban negara dari sisi keuangan.
Penjara merupakan salah satu sanksi yang diberikan kepada pelanggar aturan (kriminal) agar si pelanggar jera dari perbuatan yang telah dilakukannya. Penjara merupakan sanksi yang merampas kemerdekaan seseorang sehingga ia tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Seseorang yang dikenakan sanksi penjara hanya dapat melakukan aktivitasnya disekitar tempat dimana ia ditempatkan. Bagaimana efek jera ini akan terwujud jika keputusan penjara yang telah ditetapkan pengadilan dan berkekuatan tetap dapat dibatalakan bahkan ada remisi-remisi yang diberikan oleh negara. Hal ini memperjelaskan bahwa sanksi yang diberikan tidak tegas dan tidak memberikan efek jera tersebut.
Inilah buah dari sistem sekular-kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan dan memberikan hak membuat hukum pada manusia yang serba lemah serta yang memberikan posisi istimewa kepada pemilik modal. Sehingga apapun itu akan dilihat dari sisi kemanfaatannya bukan kemaslahatan masyarakatnya. Lapas over crowded atau pun membebani keuangan negara maka solusi grasi dan Remisi.
Islam: Sanksi Tetap dan Tegas
Narkoba adalah barang yang haram diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan ditengah-tengah masyarakat. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah Saw. “Rasululah Saw malrang setiap zat yang memabukan dan menenangkan (mufattir).” Mufattir adalah setiap zat penenang yang kita kenal sebgai obat psikotropika dan narkoba.
Pada Negara Islam yakni Daulah Khilafah Islamiyyah, barang haram tidak boleh/dilarang untuk diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan ditengah-tengah masyarakat. Sehingga jika dilakukan akan dianggap kejahatan/jarimah (tindak kriminal) yang harus ditindak. Untuk kasus narkoba yang termasuk barang haram yang dilarang untuk diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan ini masuk ke ranah ta’zir yang mana permasalahannya akan diserahkan kepada qadhi/hakim. Hakimlah yang akan memutuskan sanksinya. Dalam sistem hukum islam keputusan hakim mengikat tidak dapat dibatalkan oleh siapapun termasuk khalifah (kepala negara).
Hakim dapat mempertimbangkan kadar sanksi untuk pelakunya, dari yang ringan hingga berat. Mulai pengumuman, diekspos di tengah masyarakat, penjara, denda, cambuk bahkan hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarkat. Dalam kitab Nizham al-‘Uqubat, aal-muhami ‘Abdurrahman al-Malik menyebutkan bahwa siapa saja yang menggunakan narkoba seperti ganja, heroin dan sejenisnya bisa dianggap sebagai pelaku kriminal. Dia akan dijatuhi sanksi cambuk, penjara 15 tahun dan denda. Masalah ini diserahkan kepada hakim. Jika dengan sanksi ini masih tidak jera maka hakim bisa memvonis dengan hukuman maksimal hingga hukuman mati. Karena kejahatan ini bisa dianggap kejahatan sebagai extra ordinary crime.
Tegasnya hukum syariat (hukum Islam) karena salah satu fungsi diterapkannya adalah untuk menjaga akal manusia. yang memproduksi, yang menggunakan dan yang mengedarkan sama-sama dianggap perusak akal manusia terutama saat ini adalah generasi muda yang dapat menimbulkan loss generation. Hal ini merupakan masalah besar dan berbahaya yang tidak dapat dianggap sepele.
Selain itu, dalam sistem sanksi islam jika vonis sudah dijatuhkan maka vonis tersebut mengikat. Tidak boleh dikurangi bahkan dibatalkan. Dalam kitab Tabshiratu al-Hukkam, Ibn Farkhun, menyatakan bahwa tugas lembaga peradilan adalah menyampaikan keputusan hukum syara’ (vonis) dengan cara yang mengikat. Karena itu, keputusan hakim bersifat mengikat tidak ada PK atau banding. Dalam kitab Nizham al-‘Uqubat disebutkan bahwa ta’zir dan mukhalafat jika vonis hakim telah dijatuhkan maka vonis tersebut mengikat bagi sekuruh kaum muslim termasuk Khalifah (kepala negara). karena itu, tidak boleh dibatalkan, dihapus, diubah, diringankan atau yang lain, selama vonis tersebut berada dalam koridor syariah. Sebab ketika keputusan sudah ditetapkan hakim, maka sama sekali tidak bisa dibatalkan. Amnesti atau grasi juga tidak boleh karena itu artinya vonis (sebagian atau total) hakim dinyatakan batal.
Maka dalam islam begitu vonis telah dijatuhkan maka harus segera dieksekusi secepatnya. Karena sanksi dalam islam berfungsi sebagai zawajir dan jawabir. Karena sanksi tersebut bersifat preventif, untuk mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama salah satu contohnya tadi menggunakan narkoba tadi. Disebut jawabir karena sanksi ini bisa menjadi penebus dosa bagi pelaku sehingga diakhirat tak akan diminta pertangungjawaban lagi atas kejahatannya tersebut dan terhindar dari azab Allah.
Hal ini hanya dapat diterapkan dalam sebuah institusi yang menerapkan syariat islam secara kaffah yakni Daulah khilafah Islamiyah. Daulah ini yang akan menerapkan sanksi dengan tetap dan tegas yang mana sanksi tersebut berasal dari sang khaliq yakni sang pembuat hukum yang satu-satunya berhak untuk membuat hukum. Bukan berasal dari manusia yang serba lemah sehingga sanksi dapat berubah bahkan dibatalkan.
(LM/SN)