“Wine Halal”, Kecolongan Tersistematis

“Wine Halal”, Kecolongan Tersistematis

Oleh: Atik Hermawati

 

LenSaMediaNews.com – Nabidz yang diakui sebagai “wine halal” ternyata telah terbukti sebagai minuman keras atau khamr. Hasil uji lab produk yang dikatakan sebagai “jus buah” tersebut mengandung etanol 8,84 persen atau hampir 9 persen. Minuman Nabidz ini begitu menghebohkan masyarakat, sebab sebelumnya mengantongi izin halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) melalui self declare. Pun tak sedikit yang tertipu dan mengonsumsi minuman ini karena label halal tersebut.

 

Skema Jaminan Produk Halal yang Semrawut

BPJPH sebagai lembaga pemberi label halal menyatakan bahwa pihaknya telah memberikan izin tersebut karena yang didaftarkan diakui sebagai jus anggur, bukan wine. Meskipun kini pada akhirnya BPJPH sendiri mencabut kembali label halal tersebut, publik begitu heran mengapa bisa dengan mudahnya kecolongan produk yang jelas keharamannya. Hal itu tentu sangat berbahaya, apalagi negeri ini mayoritas penduduknya ialah muslim.

 

Kasus tersebut membuktikan bahwa skema self declare untuk pemberian jaminan halal begitu berbahaya jika tidak dibarengi dengan pengujian secara faktual dan teliti. Hal ini sarat digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab demi keuntungan materi. Masyarakat yang tertipu pun akhirnya mengonsumsi produk yang sebetulnya haram.

 

Kejadian Nabidz ini diharapkan menjadi evaluasi bagi BPJPH dalam menerbitkan label halal. Praktik curang pengusaha seperti ini sudah dapat diperkirakan kian terjadi di tengah sistem sekularisme saat ini. Halal-haram tidak menjadi acuan bagi kebanyakan produsen, melainkan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya ialah hal yang diutamakan.

 

Negara yang kurang mengawasi karena asasnya bukan syariat Islam, telah menumbuhkan produsen-produsen nakal untuk memanipulasi produknya. Dengan paradigma kapitalisme, apapun bisa dibeli dengan uang termasuk izin dari pemerintah. Ditambah lagi sanksi yang kurang tegas pun telah menjadikan kecolongan berulang kali terjadi.

 

Negara tidak memerhatikan dan mengurusi rakyatnya dengan semestinya. Masyarakat menjadi kebingungan dan ragu terhadap produk yang sudah dilabeli halal sekalipun. Padahal jaminan produk halal bagi umat muslim adalah hal krusial. Apapun yang dikonsumsi bagi umat muslim sangat berpengaruh bagi kehidupan di dunia dan akhiratnya. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram kecuali neraka lebih utama untuknya.” (HR At-Tirmidzi).

 

Tuntaskan dengan Sistemik

Kasus Nabidz ini tidak bisa diselesaikan dengan parsial. Umat membutuhkan sistem negara yang menjadikan syariat Islam sebagai pondasinya yakni sistem Khilafah. Dalam Khilafah, negara berperan sebagai pengurus urusan masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).

 

Negara tentu menjamin kehalalan apa saja yang beredar di masyarakat. Produk-produk haram tidak diberi celah sedikitpun dengan landasan keimanan, bukan bisnis antara pengusaha dan penguasa seperti saat ini. Masyarakat hanya diizinkan untuk memproduksi makanan-minuman yang halal dan thayyib. Bagi para pelanggar atau pelaku kejahatan, maka negara memberlakukan sanksi yang tegas sesuai syariat.

 

Dengan suasana penerapan aturan Islam secara kaffah, tidak dapat terelakkan masyarakat pun menjadi pebisnis berdasarkan keimanan. Mencari keberkahan dan ingin bermanfaat bagi umat, itulah yang menjadi pendorong atas kegiatan usaha mereka. Sehingga, kecolongan seperti kasus Nabidz, tentu tidak akan terjadi begitu mudahnya.

Wallahu a’lam bishowwab. 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis