Rempang Eco-City, Relokasi Demi Investasi?

Rempang Eco-City, Relokasi Demi Investasi?

 

Oleh: Ummu Zhafran

(Pegiat literasi)

 

LenSaMediaNews.com – Seorang ibu guru menggandeng tangan mungil siswa-siswinya berlari keluar dari sekolah. Aura ketakutan dan pucat pasti membayang di wajah polos bocah tak berdosa itu. Sementara asap tampak bergelung di atas kepala mereka diantar angin yang kencang bertiup. Suara isak tangis mulai terdengar di sana-sini. Membuat warga dunia maya yang menyaksikan ikut merasakan suasana panik dan mencekam yang menggelayut di sana.

 

Ya, situasi yang digambarkan di atas bukanlah adegan sebuah sinetron atau pun drama. Tetapi kisah nyata. Asapnya adalah gas air mata yang konon terbawa angin sampai ke sekolah-sekolah yang tengah melangsungkan kegiatan belajar mengajarnya. Isak tangis yang terdengar akibat terpapar gas yang membuat pedih di mata.

 

Mengutip dari laman berita internasional BBC, kejadian yang viral di semua platform media sosial tercetus di Pulau Rempang, Batam. Kronologinya bermula dari rencana relokasi sebanyak 16 kampung adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang, Kepulauan Riau. Perkampungan tersebut terancam tergusur oleh pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City. Jelas masyarakat adat setempat menolak karena khawatir akan kehilangan ruang hidup mereka.

 

Di sisi lain Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam yang menjadi wakil resmi pemerintah di sana beralasan proyek ini demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sosialisasi konon sudah dilakukan sejak bulan Juli. Namun ketika beredar kabar diantara warga Rempang bahwa BP Batam beserta aparat akan memaksa masuk untuk melakukan pengukuran, maka warga berkumpul untuk menghadang. Saat aparat mulai bergerak, terjadi lemparan batu dari arah warga. Hal ini dibalas oleh aparat dengan menyiramkan air dan menembakkan gas air mata. Sampai asapnya merambah kawasan sekolah, yaitu SMPN 33 Galang dan SDN 24 Galang. (bbc.com, 11/9/2023)

 

Menyimak alur insiden di atas, wajar bila publik baik masyarakat setempat maupun netizen meradang. Relokasi alias diminta pindah meninggalkan rumah dan mata pencaharian yang sudah digeluti puluhan tahun pasti bukan hal gampang. Apalagi mayoritas penduduk setempat yang merupakan etnis Melayu sudah berdiam di sana bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka. Jika benar proyek Rempang Eco-City untuk kemaslahatan ekonomi rakyat, mengapa harus dilangsungkan dengan menggusur rakyat yang notabene ingin disejahterakan? Tak salah bila sebagian masyarakat menilai kepada siapa pembangunan proyek strategis nasional ini berpihak. Jelas bukan pada rakyat yang diiming-iming relokasi melainkan pada investor yang sudah berinvestasi.

 

Hal tersebut salah satunya tampak dari pernyataan Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi di laman berita yang sama. Ia mengungkap bahwa perencanaan Rempang Eco-City sejak awal mengabaikan suara masyarakat adat yang sudah tinggal sejak tahun 1834. Menurutnya, negara dalam hal ini diwakili BP dan segenap aparat sudah melanggar amanat konstitusi untuk melindungi segenap rakyat.

 

Sudah tentu, kalimat melindungi segenap rakyat harus digarisbawahi. Terlebih ekonomi masyarakat baru saja menggeliat lagi pasca pandemi. Idealnya stake holder alias para pengambil kebijakan negeri hadir mendampingi, bukan kemudian membela pemodal atas nama investasi. Namun semua itu memang sukar dilakukan selama ideologi kapitalisme yang mendominasi. Sudah jadi tabiat asli ideologi buatan manusia ini untuk berpihak pada oligarki. Prinsip penguasa dalam bingkai sistem ini bukan lagi melayani yang berarti mengurusi melainkan sekadar memfasilitasi layaknya wasit di dalam pertandingan bola kaki.

 

Mari ingat lagi apa kata Bapak Adam Smith, pencetus ide Kapitalisme, bahwa ekonomi klasik menekankan pada kekuatan pasar. Sehingga dalam pelaksanaannya, menolak adanya campur tangan pemerintah. Dengan sendirinya seolah berlaku hukum rimba, siapa kuat dialah yang menang. Di dalam pasar, tentu pemodal besarlah yang kuat maka lumrah jika ia pemenangnya.

Apa yang dipertontonkan hari-hari belakangan, mau tak mau menggiring ingatan kita pada sejarah Islam. Masa di mana Umar bin Khattab, seorang Khalifah dalam sistem kekhilafahan yang diwariskan Nabi saw. menyikapi pengaduan warga Yahudi yang digusur rumahnya untuk pembangunan masjid. Saat itu Khalifah serta-merta mengirimkan potongan tulang kepada Gubernur yang berani menggusur rumah warga Yahudi untuk pembangunan masjid. Gubernur tanggap dengan peringatan Sang Khalifah yang mengingatkan betapa suatu saat nanti jasad tak lebih dari tulang belulang, sedang setiap amal bakal dihisab. Maka tanah pun dikembalikan pada warga Yahudi yang akhirnya tersentuh lalu memeluk Islam.

 

Betapa hari ini kita merindukan sosok seperti Umar bin Khattab ra. yang hanya bisa hadir apabila Islam yang jadi pedoman. Sebab semua yang dilakukan beliau semata cermin dari ketaatan pada syariah kaffah yang datang dari Al Khaliq melalui Baginda Rasulullah saw. bukan yang lain.

Wallahua’lam bishowwab.

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis