Refleksi Mayday 2024, Kapan Buruh Sejahtera?
Oleh: Ummu Zhafran
Pegiat Literasi
Lensa Media News–Setiap tanggal 1 Mei dunia memperingati Hari Buruh Internasional. “Social Justice and Decent Work for All,” jadi tema besar peringatan tahun ini. Keadilan sosial dan pekerjaan yang layak untuk semua harus diakui masih jadi PR besar yang menanti penyelesaian.
Akankah dapat segera terwujud atau lebih tepatnya mungkinkah dapat terealisasi, mengingat sengkarut problem buruh seperti tak henti mengalun? Mulai dari gelombang PHK, upah sangat minimum, hingga sempitnya lapangan kerja. Sejak dulu hingga kini.
Sekilas menengok sejarah, Hari Buruh Internasional berawal dari aksi demonstrasi para buruh di Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1886. Para pekerja menuntut jam kerja 8 jam per hari, 6 hari seminggu, dan upah yang layak.
Aksi ini kemudian diwarnai dengan kerusuhan hingga terjadi tragedi yang dinamakan Haymarket Affair. Saat itu korban mencapai 8 orang yang wafat, 70 terluka dan lebih dari 100 orang yang ditangkap (wikipedia).
Sekian ratus tahun berlalu, nyatanya tuntutan para pekerja masih sama. Tema yang diusung sekarang pun tak jauh berbeda dengan apa yang diinginkan buruh di tahun 1886 lalu. Miris.
Lalu mengapa bisa demikian? Jawabnya sederhana. Karena sistem ekonomi yang diterapkan sama-sama bersandar pada kapitalisme. Ideologi yang memandang buruh sebagai bagian dari komponen produksi. Karenanya harus diminimalkan biayanya guna mencapai keuntungan lebih besar (wikipedia).
Poin inilah yang kemudian digugat oleh Karl Marx, bapak sosialisme. Ia menilai bahwa sistem ekonomi kapitalisme telah melakukan eksploitasi terhadap kaum buruh. Sayangnya gugatan Karl Marx berhenti sebatas menuntut dihapuskannya perbedaan kelas di tengah masyarakat dan kenaikan upah.
Padahal bukan di situ letak akar masalahnya. Fokusnya ada pada sudut pandang yang menempatkan buruh tak lebih sebagai bagian dari produksi atau bagai mesin-mesin yang menjalankan produksi di suatu perusahaan. Akibatnya, nasib buruh sangat bergantung pada perusahaan. Terbukti, gelombang PHK yang menimpa buruh terus terjadi tanpa ada yang bisa menghalangi.
Lantas di mana negara? Negara ada, namun dalam bingkai kapitalisme tak berperan langsung dalam memberi jaminan kepada para buruh melainkan sebatas regulator dan mediator yang menengahi di antara buruh dan perusahaan.
Tak heran jika kesejahteraan bagi buruh bagai mimpi di siang bolong. Terlebih jika upah selalu minimum, sementara kebutuhan cenderung maksimum, nyaris mustahil bisa meraih sejahtera yang diinginkan. Maka selama kapitalisme dibiarkan mengelola negeri, hal ini akan terus berlangsung.
Berbeda jauh bila Islam yang mayoritas dianut di negeri ini kemudian diterapkan syariatnya secara kafah. Khusus terkait masalah buruh, Islam memandangnya sebagai bagian dari individu rakyat yang harus dijamin pemenuhan kebutuhannya. Tugas untuk menjamin kebutuhan pokok setiap orang, oleh Islam dibebankan pada negara.
Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia dan hukum asalnya mubah. Tiap muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariat.
Boleh saja seseorang bekerja sebagai buruh, berdagang, bertani, berkebun, tetapi ketika dia melakukan pekerjaan tersebut harus terikat dengan syariat. Karena itu, seseorang tidak boleh memproduksi khamr, melakukan jual beli babi, dan lain sebagainya.
Dalam menentukan standar gaji buruh pun, standar yang digunakan Islam adalah manfaat tenaga yang diberikan buruh, bukan berdasarkan biaya hidup atau ‘living cost’ terendah. Rasulullah saw. bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.”(HR.Ibnu Majah).
Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat. Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl).
Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Untuk ke depannya, kecukupan akan kebutuhan pokok, sekunder hingga tersier bisa terpenuhi. Wallahualam. [LM/ry].