Jangan Pisahkan Agama dengan Politik

 

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Redaktur Pelaksana Lensa Media News)

 

 

LensaMediaNews__Ramai menjadi pembicaraan di media sosial ketika muncul Ganjar Pranowo, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam azan di stasiun televisi milik Hari Tanu Sudibyo, RCTI. Banyak pihak kemudian mengaitkannya dengan pembacaan puisi oleh Ganjar yang menyerang pengeras suara sebagai “alat memanggil” Tuhan, jika dekat mengapa menggunakan pengeras suara saat memanggilnya, atau dengan “kejujurannya” penyuka film porno dewasa, dengan alasan tak ada salahnya saya kan juga orang dewasa, hingga pada tudingan Ganjar sedang menggunakan agama sebagai alat politik atau lebih dikenal dengan politik identitas.

 

 

Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai kemunculan Ganjar seperti itu sama halnya seperti kemunculan tokoh politik dalam iklan ucapan hari-hari besar keagamaan lainnya. “Jelas bukan politik identitas. Politik identitas tak sederhana begitu definisinya. Itu hanya tayangan orang salat. Mengajak kebaikan,” kata Adi (nasional.tempo.co, 11-9-2023).

 

 

Adi pun menegaskan bahwa politik identitas adalah sebuah aktivitas politik mengajak orang lain memilih calon dalam pemilu berdasarkan sentimen agama, suku, dan ras. Kemudian mempengaruhi hanya datang ke TPS untuk memilih dirinya atau jagoan yang didukung. “Jadi, politik identitas itu aktivitas politik, bukan aktivitas ibadah,” ujarnya.

 

 

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) RI Yaqut Cholil Qoumas telah mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat dan menggunakan agama sebagai alat politik. Yaqut menyampaikan hal tersebut di Garut, Jawa Barat, dalam rangka menghadiri Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat (republika.co.id, 4-9-2023).

 

 

Menag Yaqut menambahkan, “Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat, rahmatan lil ‘alamin, rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil Islami, tok,” kata Menag. Karena itu pemimpin yang ideal, menurutnya, harus mampu menjadi rahmat bagi semua golongan. “Kita lihat calon pemimpin kita ini pernah menggunakan agama sebagai alat untuk memenangkan kepentingannya atau tidak. Kalau pernah, jangan dipilih,” katanya menegaskan.

 

 

Islam Tanpa Politik Sama dengan Sekuler

Jamak menjelang pemilu, para pejabat negara yang mencalonkan diri atau dicalonkan tetiba mengenakan baju Islami, menutup aurat meski tidak sempurna, lengkap dengan senyum manis ketika terpampang di baliho besar di jalan umum. Berikutnya disambung dengan kunjungan ke pondok pesantren atau silahturahmi kepada para habib, kyai, atau tokoh agama yang memiliki massa atau setidaknya mampu menggerakkan massa sebagai jaminan besarnya dukungan atas pencalonannya.

 

 

Semua bermuara pada satu keinginan, bahwa mereka harus memenangkan pertarungan. Sadar bahwa kaum Muslim berjumlah mayoritas dan nilai kebaikan itu masih dipegang Islam. Meski hanya penampilan luar. Berkopiah dan berkerudung, terakhir malah dengan memperlihatkan salat berjamaah. Namun pemandangan ini sebenarnya ironis, mereka mau massanya (jamaah Islam) tapi tak mau syariatnya, sebab begitu tampuk kepemimpinan ada di tangan mereka kembali mereka melanjutkan sistem demokrasi.

 

 

Sejatinya inilah yang disebut politik identitas, mereka berusaha meraih tujuan dengan menggunakan identitas tertentu, dalam hal ini Islam, bukan saja dalam jumlah penduduk Indonesia mayoritas memeluk Islam. Tapi Islam tak lekang oleh waktu, tak bisa dinafikan akar budaya masyarakat Indonesia masih banyak dipengaruhi oleh peradaban Islam.

 

 

Islam adalah Politik

Islam tak bisa dilepaskan dengan politik. Hal ini tercermin dalam sabda Rasulullah saw,” “Dulu Bani Israil selalu dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, datang nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang ada adalah para khalifah yang banyak.” Para sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama; yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, kerana Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka atas rakyat yang diurusnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

 

 

Kata politik dalam bahasa Arab, dari akar kata sasa-yasusu-siyasatan, yang berarti mengatur, memerintah atau melarang. Maka, syariat Islamlah yang dimaksud alat untuk mengaturnya. Jika dipisahkan disebut sekuler, sebagaimana hari ini, maka wajar jika bukan keberkahan yang diterima. Bahkan rahmatan lil aalamin pun yang dimaksud kemenag juga tidak bisa diterapkan hari ini, sekalipun ia memaksakan rahmat itu untuk semua agama, kaum kafir, baik penyembah berhala maupun agama samawi sama-sama merasakan beratnya hidup di dunia kapitalisme yang sekuler.

 

 

Maka, sungguh sayang jika politik identitas, hanya disikapi untuk mendulang suara menjelang pesta demokrasi semata, sebab, setiap orang muslim sejatinya wajib menonjolkan identitas Islamnya dalam situasi apapun. Sebab Allah akan meminta pertanggungjawaban di akhir dunia. Politik identitas Islam ini harus diterapkan sebagai sebuah sistem pengaturan urusan rakyat menggantikan demokrasi-kapitalisme yang hanya topeng. Wallahu a’lam bish shawab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis