Ribut-Ribut Cawapres, Diam-Diam BBM Naik (Lagi)!

Oleh : Ummu Zhafran

(Pegiat Literasi)

 

Lensa Media News – Bu Ani bingung. Kabarnya harga BBM non subsidi kembali melambung. Mau tak mau, ingatannya mulai melayang. Ia ingat, dulu mereka pengguna setia bensin yang disubsidi sebelum akhirnya berubah harga dan jadi sukar dijangkau. Untuk mendapatkannya, harus antre menghabiskan waktu. Sampai akhirnya Pak Rama, suaminya memutuskan pindah ke bahan bakar non subsidi. Meski untuk itu, dengan pendapatannya yang tetap berarti pengeluaran untuk kebutuhan lain harus lebih ditekan lagi. Berat memang, tapi mereka selalu ingat kata Ustadz di televisi. Orang hidup harus banyak sabar dan syukur, mengeluh harus dikurangi.

Tetapi siapa menduga sekarang justru BBM yang tidak disubsidi itu yang harganya berganti. Pastinya lebih tinggi. Bukan main pusingnya Bu Ani. Tidak tahu kebutuhan mana yang harus dihapus lagi. Terbayang di benaknya, bagaimana cara bisa tetap sabar dan syukur di tengah kondisi sulit seperti ini. Tiba-tiba Bu Ani ingin cepat menyalakan televisi supaya bisa bertanya pada Ustadz lagi. Tapi ia lupa kalau televisi sudah dijual kemarin buat biaya anaknya berobat ke dokter gigi. Amboi…

Walau kisah rumah tangga Pak Rama dan Bu Ani di atas bukan nama dan tempat yang sebenarnya, namun satire yang sama menimpa banyak rumah tangga lainnya di negeri ini. Kebanyakan dari mereka tak peduli dengan huru-hara politik yang kini terjadi. Karena biasanya juga baru dilibatkan nanti ketika hari mencoblos sudah tak lama lagi.

Tetapi di saat yang sama masyarakat menyaksikan, betapa tata kelola negara dalam bingkai demokrasi semakin rapuh saja. Terbukti bongkar pasang koalisi jadi pemandangan biasa. Akibatnya gagasan perubahan yang diusung rawan kehilangan makna. Bak pepatah Jawa, isuk dele sore tempe, pagi berkoalisi dengan A, sore versus A. Terus saja begitu sampai undur-undur maju jalannya. Selama ideologi kapitalisme yang menjadi induk dari paham demokrasi dibiarkan, maka berlaku pemeo masyhur sedunia. Tiada kawan dan lawan abadi, hanya kepentingan yang berlaku selamanya. Parahnya, kepentingan yang dimaksud sering kali mengarah pada yang berdompet tebal. Nama lainnya, oligarki atau para pemilik modal. Lumrah saja, mengingat perkara modal memang tabiat ideologi kapitalisme yang menonjol sejak awal.

Lalu bagaimana dengan kepentingan rakyat? Publik bisa menyaksikan sendiri kiranya tiada tempat untuk aktivitas melayani dan mengurusi rakyat di sisi para elit yang duduk di kursi kekuasaan. Bahkan di sektor vital, seperti BBM. Rakyat diminta bersabar dengan dicabutnya subsidi. Walau akhirnya, nyaris semua layanan publik jadi berbayar. Bahkan yang non subsidi juga tak luput mengalami penyesuaian harga. Artinya, kebijakan privatisasi dan liberalisasi yang juga merupakan turunan ideologi kapitalisme resmi diadopsi selama ini.

Hal serupa lebih dulu diungkap seorang pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., Ak., bahwa karut-marut kebijakan terkait bahan bakar minyak (BBM) berakar pada liberalisasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) Indonesia. Dampaknya fatal, harga bukan lagi dalam kendali pemerintah melainkan swasta. Berikutnya, subsidi dipandang sebagai beban bagi APBN. Padahal pembiayaan bunga utang luar negeri yang faktanya jauh lebih besar tidak dikatakan demikian. Ditambah lagi dengan kenyataan pahit bahwa pajak yang sudah ditarik dari segala sektor layanan publik tak bisa kiranya digunakan untuk menopang subsidi.

Memilukan. Tinggal satu pertanyaan, mau sampai kapan bertahan? Jika Kapitalisme terang-terangan sudah gagal memberikan sejahtera dan aman di tengah masyarakat, maka bukan saatnya lagi untuk ragu mengambil solusi dari Islam.

Tanpa perlu basa-basi, realitasnya Islam itu Dien yang sempurna dan paripurna. Langsung disempurnakan Allah Swt. sebagai pedoman hidup manusia, makhluk ciptaan-Nya agar selamat di dunia hingga nanti di akhirat. Risalah Islam diturunkan melalui utusan Allah, Baginda Nabi Muhammad saw. yang juga manusia. Sehingga tiada alasan seharusnya bagi semua manusia untuk tidak mengikuti jejak beliau, Rasulullah saw.

Dalam hal pengelolaan BBM misalnya, Nabi saw. berpesan bahwa BBM adalah bagian dari barang milik umum yang pengelolaannya diserahkan kepada negara, sehingga haram diserahkan kepada swasta. Dalam pandangan Islam, peran negara bukan hanya sebagai regulator namun sekaligus juga sebagai pelaku bisnis. Dengan catatan, sebagai regulator, kepala negara juga diberi amanah oleh syariah untuk menentukan perundang-undangan dengan tetap dalam koridor syariat Allah Swt. Sebagai pelaku bisnis, orientasinya bukan lagi keuntungan dengan tidak memedulikan penderitaan rakyat seperti apabila swasta yang mengelola. Tetapi lebih kepada melayani seluruh warga negara, tanpa membedakan antara muslim dan non muslim maupun yang kaya dan miskin seperti keluarga Pak Rama.

Wallaahua’lam.

 

[LM/nr]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis