Kisruh Permasalahan Sistem Zonasi, Dimanakah Keberkahan Ilmu di Masa Kini?
Oleh : Najma Nabila
Lensa Media News – Perhimpunan Pendidikan dan Guru menyebut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2023 kacau balau lantaran adanya berbagai persoalan yang ditemukan di lapangan. Mulai dari manipulasi Kartu Keluarga, jual beli kursi, hingga siswa “titipan” dari pejabat atau tokoh masyarakat (bbc.com). Sebuah fakta di Kota Bogor, dari 161 siswa baru, hanya 4 siswa yang berasal dari daerah sekitar. Seorang warga yang rumahnya berjarak 300 meter dari lingkungan sekolah pun mengaku tidak diterima jalur zonasi. Sementara warga lainnya menyebutkan bahwa ada 13 anak dari kabupaten yang masuk ke SMAN Bogor melalui jalur zonasi (beritasatu.com).
Harapan dari sistem zonasi sebenarnya baik, yakni tidak ada penumpukan pada sekolah favorit yang dilakukan dengan cara salah seperti katrol nilai atau transaksi suap. Selain itu harapannya semua sekolah jadi memacu sekolahnya untuk menjadi lebih baik lagi. Namun, rupanya zonasi belum dapat membuktikan hal tersebut. Di sekolah-sekolah negeri masih ada praktik suap untuk mendapatkan bangku sekolah impian. Pun kualitas sekolah belum beranjak secara signifikan setelah sistem zonasi diterapkan. Alhasil, harapan terkait penerapan zonasi masih jauh dari kenyataan.
Ombudsman perwakilan Banten juga melaporkan adanya penggunaan surat keterangan tidak mampu (SKTM) oleh anak pejabat dan anak pengusaha besar untuk mendaftarkan PPDB 2023 jalur afirmasi (beritasatu.com). Menjadi miris karena cara ini dilakukan oleh segala kalangan demi alasan pendidikan. Padahal dalam Islam, ilmu perlu diraih dengan cara yang berkah. Namun di masa kini, segala cara dilakukan demi sekolah impian, pun jika sudah masuk ke ranah aktivitas yang haram seperti suap maupun berbohong.
Di zaman ini, banyak orang menyasar sekolah negeri selain karena kualitasnya yang baik, juga karena biayanya yang lebih terjangkau ketimbang sekolah swasta. Namun apa daya, ketentuan zonasi sering dinilai tidak sepadan dengan kenyataan di lapangan. Aturan jarak yang membingungkan dan tidak merata hanyalah salah satu pertanyaan yang dilayangkan orang-orang. Lebih miris lagi, jual beli kursi sekolah menjadi momok yang seperti bukan rahasia lagi. Bagaimanakah nasib keberkahan pendidikan di masa sekarang? Nampaknya sudah tidak menjadi perhatian.
Pemerataan pendidikan semestinya menjadi hak seluruh rakyat. Bukan hanya sekadar pendidikan, namun juga pendidikan yang berkualitas. Sangat jauh dengan apa yang ada di sistem kapitalis saat ini, di mana pendidikan terbilang mahal dan jadi terbatas untuk kalangan tertentu. Ada yang berhasil mendapatkan sekolah negeri impian, tapi ada juga ternyata yang butuh “uang lebih” untuk mendapatkan kursi di sekolah incaran. Tanpa sadar, ada hak-hak rakyat yang terampas oleh aturan yang rasanya tidak adil soal jarak rumah dan sekolah maupun yang terampas oleh perilaku-perilaku curang. Akhirnya, mau tak mau swasta jadi pilihan. Bukan karena kualitasnya, namun banting setir karena tidak ada sekolah negeri yang mau menerima. Bagi kalangan tertentu, sekolah swasta berarti angka yang lebih besar lagi yang harus ditebus demi pendidikan, yang mana berarti lebih sulit lagi perjuangan selanjutnya.
Jika mendengar bagaimana Islam menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat, kita tentu akan sangat-sangat menginginkannya. Bagaimana pendidikan merupakan bagian dari layanan yang diberikan pada seluruh rakyat dengan gratis karena dianggap sebagai bagian dari kebutuhan primer. Islam yang sangat mengutamakan ilmu memberikan kesempatan bagi segala kalangan untuk sama-sama dapat mengenyam pendidikan. Tak ada beda antara yang berpunya dan yang kekurangan karena pendidikan adalah kewajiban negara yang perlu diberikan pada semua rakyatnya. Masya Allah.
[LM/nr]