Risiko Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa
Lensa Media News-Disahkannya usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa oleh Baleg DPR RI ibarat dua sisi mata pisau. Di satu sisi, para kepala desa membutuhkan waktu lebih agar dapat memaksimalkan pembangunan desa. Di sisi lain, dengan masa jabatan yang lebih lama maka riskan terhadap praktik korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 155 kasus korupsi dari sektor desa selama tahun 2022.
Bahkan sejak tahun 2015, ICW mendata 1053 perkara pidana tindak korupsi dengan 1162 terdakwa dan menjadikan profesi perangkat desa menempati posisi ketiga profesi paling banyak melakukan korupsi. Tak kurang dari Rp. 433,8 miliar dana desa telah diselewengkan dalam kurun waktu 2015 sampai 2021. Apalagi dengan bertambahnya periodisasi jabatan kepala desa, akan berimbas kepada besaran dana desa yang mengalami kenaikan dari 8,3% menjadi 20% dari dana transfer daerah.
Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, meningkatnya kasus korupsi di desa beriringan dengan peningkatan alokasi dana untuk pembangunan desa. Dalam revisi UU Desa tahun 2023, alokasi dana desa sekitar Rp. 800 triliun yang didistribusikan kepada 74.000 desa sehingga tiap desa memperoleh Rp. 1,1 miliar sampai dengan Rp. 1,3 miliar per tahun. Dana ini belum termasuk sumber yang berasal dari pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi, hibah, serta pendapatan desa lainnya yang sah seperti pendapatan dari sewa tanah atau bangunan. Beberapa modus praktik korupsi dana desa yang terjadi di antaranya penggelembungan dana (mark up), pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai ketentuan, proyek fiktif, laporan fiktif, dan penggelapan dana. Bahkan tidak jarang ditemukan kasus pungutan liar suatu program padahal program tersebut seharusnya gratis.
Kasus korupsi adalah problematika yang tak kunjung usai. Seolah-olah korupsi adalah budaya lestari di antara para pemimpin desa. Jika tidak dituntaskan hingga ke akarnya, maka akan berlanjut sampai kapan pun. Dengan segala keistimewaannya, kepala desa menjadi jabatan yang membanggakan.
Namun dalam Islam, kepemimpinan bukan perihal privilege tetapi keteladanan bertindak. Seorang pemimpin tidak cukup berbekal kemampuan kognitif, ia juga harus memiliki akhlakul karimah yang tertambat dalam kepribadiannya. Amanah (kejujuran), iffah (menjaga diri), haya ’ (malu), iqtishad (hemat), qana’ah (tidak serakah) merupakan contoh nilai-nilai pemimpin yang wajib diteladani dari Rasulullah Saw. Dengan tertanamnya nilai-nilai tersebut, maka akan tercipta pemimpin masa depan yang anti korupsi. Wallahu a’lam bish-shawab. Leora Andovita. [LM/IF/ry].