KPK Bermasalah, Lembaga Antikorupsi Mustahil Berantas Korupsi dalam Sistem Demokrasi
Oleh : Sulistyowati, SE
LensaMediaNews__Praktisi Hukum Todung Mulya Lubis menilai, berbagai kasus yang terkuak dari internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti pungutan liar di Rutan KPK, terjadi lantaran adanya revisi Undang-Undang dan krisis kepemimpinan di lembaga antikorupsi tersebut. Ia berpandangan bahwa, lembaga antikorupsi itu tidak bisa disamakan dengan Kepolisian ataupun Kejaksaan dalam konteks pemberantasan korupsi. (nasionalkompas.com, 30-6-2023)
Sebelumnya, Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengungkapkan adanya kasus pungli di rutan KPK. Temuan dugaan tindak pidana ini terungkap saat lembaga itu memproses laporan dugaan pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri. Menurutnya, nilai pungli di rutan KPK cukup fantastis, yakni Rp4 miliar dalam satu tahun. Albertina Ho juga menyebut adanya kemungkinan jumlah uang pungli itu akan terus bertambah. (regionalkompas.com, 27-6-2023)
Kasus korupsi yang banyak terjadi di rutan KPK sendiri menegaskan kronisnya masalah korupsi di negeri ini. Harus diakui krisis kepemimpinan memang sedang terjadi, tidak hanya di tubuh KPK tapi hampir di seluruh instansi pemerintahan. Sementara itu dugaan adanya upaya pelemahan fungsi KPK melalui pengesahan revisi UU KPK sudah tercium bahkan sebelum undang-undang itu disahkan.
Ini menunjukkan KPK berada di bawah bayang-bayang oligarki kekuasaan. Oleh karena itu persoalan korupsi yang semakin marak di negeri ini bukan hanya karena wewenang KPK disetir oleh kekuasaan sehingga kasus korupsi tidak banyak terkuak, namun juga karena penerapan sistem demokrasi kapitalis yang menyuburkan aktivitas korupsi.
Tak ayal dikatakan lembaga apapun yang dibentuk untuk memberantas korupsi, tidak akan mampu memberantas korupsi di negeri ini selama sistem yang diterapkan adalah demokrasi kapitalis. Sistem politik berbiaya mahal ini sangat sarat kongkalikong antara penguasa dan pengusaha serta upaya menghalalkan segala cara demi mengembalikan modal pemilu. Oleh karena itu, korupsi di negeri ini hanya musnah jika diterapkan sistem sahih yang berasal dari Al-Khaliq Al-Mudabbir, yaitu Islam.
Sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan menutup rapat semua celah terjadiya korupsi melalui aturan yang komprehensif. Dalam sistem Islam motif kerakusan harta dibabat dengan penegakan hukum atas kasus korupsi. Syariat Islam memberikan batasan yang jelas dan rinci berkaitan dengan harta para pejabat. Harta yang diperoleh di luar gaji atau pendapatan mereka dari negara diposisikan sebagai kekayaan gelap.
Individu bertakwa lahir dari penerapan sistem pendidikan Islam akan mampu menyokong negara dalam menjalankan perannya sebagai pelaksana hukum Islam. Individu bertakwa akan didukung oleh lingkungan yang kondusif. Dalam Sistem Islam amar makruf nahi munkar akan terjadi di tengah masyarakat. Masyarakat menjadi penjaga dan pengawas diterapkannya syariat. Dengan begitu jika ada anggota masyarakat yang terindikasi membuat kriminal atau korupsi mereka mudah melaporkannya pada pihak berwenang .
Dalam Sistem pemerintahan Islam ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat yaitu badan pengawas atau pemeriksa keuangan. Dalam Islam tidak ada jual beli hukum, seluruh lembaga dan perangkat hukum hanya akan melaksanakan hukum Islam sebagai perundang-undangan negara. Ketika hukum yang dipakai adalah aturan Allah maka tidak ada manusia pembuat hukum, tidak ada pula kompromi terhadap hukum.
Pemberantasan korupsi semakin ampuh dengan sanksi hukum Islam yang menjerakan. Sistem hukum yang tegas memiliki dua fungsi sebagai penebus dosa dan efek jera . Dengan sanksi yang berefek jera para pelaku dan masyarakat yang punya niatan untuk korupsi akan berpikir seribu kali untuk melakukan kejahatan. Untuk kasus korupsi, akan dikenai sanksi ta’zir, dimana khalifah berwenang menetapkannya.
Demikianlah strategi Islam Kaffah memangkas dan memberantas korupsi. Dengan penegakan syariat Islam secara menyeluruh korupsi dapat dibasmi hingga tuntas. Wallahu ‘alam bishshawab