Rekontekstualisasi Al Qur’an, Mengaburkan Umat Dari Kebenaran

Rekontekstualisasi Al Qur’an, Mengaburkan Umat Dari Kebenaran

 

Oleh : Deny Setyoko Wati, S.H

(Pemerhati Sosial Masyarakat)

 

LenSaMediaNews.com – Beberapa waktu yang lalu UIN Sunan Kalijaga mengadakan seminar nasional bertemakan “Kitab Suci Untuk Perdamaian dan Kemanusiaan”. Seminar ini diselenggarakan bekerja sama dengan Netherlands-Indonesia Consortium for Muslim-Christian Relations dan Asosiasi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir (AIAT). Tujuan diadakannya seminar ini adalah ajakan kepada para akademisi agar berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan dunia.

 

Menurut Prof. Dr. phil. Sahiron selaku Pelaksana Harian Rektor UIN Sunan Kalijaga sekaligus Ketua AIAT, harusnya akademisi berkontribusi dalam penyelesaian permasalahan dunia yakni dengan upaya memahami kitab suci secara kontekstual berdasarkan pendekatan Magna Cum Maghza. Menurutnya dengan memahami kitab suci baik di bible dan Al Qur’an secara kontekstual, maka dapat ditemukan ikatan mengenai kedamaian dan kemanusiaan. (uin-suka.ac.id, 20/6/2023).

 

Upaya Menjauhkan Umat dari Islam

Upaya menafsirkan Al Qur’an secara kontekstual ini sebenarnya justru semakin menjauhkan umat dari hakikat kebenaran Islam dan umat akan gagal memahami akar permasalahan hari ini. Sebab mengkontekstualisasikan Al Qur’an ini sebenarnya upaya menafsirkan Al Qur’an yang disamakan dengan menafsirkan bible yakni dengan metode tafsir hermeneutika.

 

Menafsirkan Al Qur’an dengan pendekatan Magna Cum Maghza sejatinya juga berakar pada tafsir hermeneutika. Penggunaan tafsir ini dengan cara menggali makna histori teks Al Qur’an dan Hadis lalu menggali teks pesan utama historinya. Setelah itu mengembangkan teks pesan utama tersebut pada kondisi waktu dan tempat saat ini. Ini menunjukkan bahwa penafsiran seperti ini sama dengan prinsip tafsir hermeneutika yang diterapkan pada bible. Padahal bible disusun tertulis 300 tahun setelah yesus wafat, sehingga sangat memungkinkan dalam teks-teksnya disesuaikan dengan konteks zaman pada waktu itu. Sedangkan Al Qur’an jelas berasal dari Allah Azza wa Jalla yang keaslian isinya akan terjaga sampai hari kiamat.

 

Selain itu penafsiran Al Qur’an dengan cara demikian justru menjadikan Islam ditafsirkan tidak selaras dengan makna isi kandungan nash-nashnya. Sangat jelas, bahwa tafsir hermeneutika tidak bersumber dari akidah Islam. Kontekstualisasi Al Qur’an ini juga berarti menganggap bahwa syariat Islam tidak relevan dengan perkembangan zaman.

 

Padahal Al Qur’an adalah wahyu yang berasal dari Allah yang Maha Tahu dan Maha Sempurna. Hukum-hukum yang Allah turunkan akan selalu relevan dengan zaman dan akan selalu menjawab persoalan di setiap zaman. Karena sesungguhnya pada penciptaan manusia tidak pernah mengalami perubahan. Lebih dari itu, menafsirkan Al Qur’an dengan tafsir hermeneutika ini juga akan mengubah hukum Islam.

 

Harus Sadar dan Waspada!

Umat harus menyadari bahwa banyaknya permasalahan kehidupan hari ini adalah dampak dari diterapkannya sistem kapitalisme-sekuler. Sistem kapitalisme-sekuler menjadikan umat menyandarkan hidupnya atas dasar hawa nafsu dan mengutamakan kebebasan. Menjadikan manusia merasa jumawa dengan membuat hukum dan mengesampingkan hukum Allah.

 

Lebih jauh dari itu, sistem kapitalisme-sekuler ini diprakarsai oleh Barat. Barat menilai sistem politik Islam adalah ancaman bagi hegemoni peradaban Barat. Untuk itulah mereka berusaha menghilangkan kedigdayaan Islam politik. Hal itu ditempuh dengan mengubah metode tafsir Al Qur’an karena tanpa mengubah metode penafsiran Al Qur’an, Barat tidak bisa mengubah hukum Islam. Alhasil mereka berusaha mengotak-atik syariat Islam agar selaras dengan hukum Barat yang sekuler.

 

Harapannya umat Islam memiliki cara berpikir dan bersikap sebagaimana ala Barat bahkan akan ter-arus menyebarkan ideologi sekuler Barat. Dengan begitu, umat Islam tidak akan lagi menjadi penghalang hegemoni Barat. Maka dari itu umat semestinya waspada terhadap proyek berbahaya ini. Sejatinya upaya kontekstualisasi Al Qur’an ini adalah proyek Barat untuk tetap melanggengkan sistem kapitalisme-sekuler.

 

Paradigma Muslim Sejati

Tidak seharusnya umat Islam apalagi intelektual muslim berpikir merekonstruksi hukum Islam untuk memperbaiki kondisi rusak saat ini. Justru sebaliknya, seorang intelektual semestinya memahami akar kerusakan realitas hari ini. Kemudian berikhtiar mengubah realita rusak saat ini menyesuaikannya dengan kandungan Al Qur’an.

 

Syariat Islam harus diterapkan sesuai dengan ajaran yang sebenarnya tanpa mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat. Oleh karena dengan begitu, kedigdayaan syariat Islam dapat tampak dalam kehidupan. Firman Allah Ta’ala:

“Dan) tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi seluruh umat manusia.” (QS Al-Anbiyaa’: 107). Makna ayat tersebut menjelaskan bahwa bahwa diutusnya Rasulullah saw dengan membawa syariat yang mengandung maslahat bagi manusia.

 

Begitu juga firman Allah Ta’ala: “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus: 57).

“Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu sebagai petunjuk dan rahmat.”(QS Al-An’am: 157). Maksud dari petunjuk dan rahmat dalam ayat diatas adalah membawa manfaat atau menjauhkan keburukan bagi manusia. Terdapat pula kaidah syara‘ yang berbunyi :

حَيْثُمَايَكُنُالشَّرْعُتَكُنُ اْلمَصْلَحَةُ 

“Di mana ada syariat di situ pasti ada maslahat”

 

Semestinya umat meyakini kaidah syara tersebut. Makna maslahat tersebut adalah membawa kemanfaatan dan mencegah kerusakan. Dengan demikian, sejatinya penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam kehidupan akan membawa berkah dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Wallahu’alam bishowwab.

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis