Menyoal Marketplace Guru

Oleh : Ahyani R (Pegiat Literasi)

 

Lensa Media News-Guru adalah profesi yang mulia, namun sayang penghargaan yang didapat guru tidak seindah profesinya. Polemik kesejahteraan dan distribusi guru terus saja kita dengar sepanjang hari. Baru-baru ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim mengusulkan suatu program untuk menuntaskan persoalan kekurangan tenaga pendidik di Indonesia. Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR pada akhir Mei lalu, Nadiem menyampaikan gagasan soal marketplace untuk talenta guru.

 

Melalui program ini nantinya, pihak sekolah bisa memilih dan melakukan checkout kebutuhan guru secara langsung di platform yang disediakan oleh pemerintah. Hal ini direncanakan akan diimplementasikan pada tahun 2024 sebagai solusi permanen dalam mengatasi persoalan rekrutmen guru (CNNIndonesia.com/ 08/06/2023).

 

Wacana ini pun mengundang pro kontra di tengah masyarakat. Pihak yang pro mengatakan bahwa program ini akan meningkatkan kualitas guru, karena para guru akan berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Sementara yang kontra mengatakan bahwa penggunaan diksi marketplace ini cenderung merendahkan martabat guru sebagai tenaga pendidik. Profesi guru yang mulia malah ditempatkan sama dengan barang dagangan dan tentu ini bisa menurunkan wibawa seorang guru.

 

Solutifkah?

 

Program ini sejatinya tidak akan mampu menjawab persoalan utama mengenai sistem perekrutan guru. Karena persoalan mendasarnya itu adalah ketimpangan nasib guru honorer dan ketidak merataan penyebaran tenaga pendidik di Indonesia.

 

Adanya platform ini justru bisa jadi semakin memperkeruh persoalan setidaknya ada tiga hal: pertama, sistem perekrutan ASN yang diserahkan ke sekolah ini tentunya akan berpotensi melahirkan nepotisme dan menyuburkan transaksi sogok menyogok, dimana pihak sekolah bisa dengan leluasa memilih siapa saja yang dikehendaki baik karena jalur kekerabatan atau siapa saja yang mampu membayar lebih.

 

Kedua, marketplace guru ini juga tidak bisa menjawab persoalan penyebaran tenaga pendidik karena umumnya guru-guru honorer tentunya ada yang tidak ingin mendaftar ke sekolah-sekolah di pelosok pedesaan selain karena kesejahteraannya yang tidak terjamin juga karena fasilitas sekolah di pelosok itu jauh berbeda dengan sekolah yang di kota. Jadi platform ini malah akan makin menciptakan kesenjangan antar sekolah karena hanya sekolah yang memiliki fasilitas terbaiklah yang mudah merekrut guru-guru berkualitas. Sebaliknya untuk sekolah dengan fasilitas minim dan jauh dari kota akan menerima sisanya saja.

 

Ketiga, spesifikasi dan kompetensi guru akhirnya tidak fokus pada kualitas pengajaran, melainkan pada prestasi akademi seperti penelitian dan lain-lain. Semestinya yang dibutuhkan pelajar adalah guru yang mampu mentransfer ilmunya dengan baik kepada mereka. Jika seperti ini jelas nantinya akan mengancam kualitas generasi.

 

Sebenarnya bukan hanya istilah marketplace guru yang tidak tepat karena menyejajarkan guru dengan barang dagangan, tetapi program ini juga lahir dari paradigma kapitalis yang menyerahkan sistem pendidikan itu kepada pasar sehingga negara hanya berperan sebagai regulator bukan sebagai pengurus umat.

 

Jika pendistribusian guru sudah diserahkan kepada pasar, ketimpangan tentu akan semakin nyata padahal hak pendidikan seharusnya bisa diakses oleh seluruh warga tanpa memandang status sosialnya. Pada akhirnya tentu hanya yang kaya saja yang bisa mendapatkan guru yang berkualitas.

 

Kemudian kompetensi antar sekolah pun menjadikan pihak sekolah itu akan berlomba-lomba menjadikan anak didik mereka sekedar berprestasi dalam banyak bidang yang akhirnya mereka lupa tujuan utamanya yaitu bagaimana menjadi manusia yang bermanfaat bagi umat ini.

 

Begitu juga motivasi para guru, bukan lagi untuk mengabdikan ilmunya bagi umat, melainkan demi materi. Para guru akan menjadikan profesi guru sebagai layanan jasa dalam perdagangan karena makin berkualitas bayaran mereka akan semakin besar. Semua inilah yang nantinya akan semakin mengumpulkan paham materialistis. Generasi juga akan memiliki visi hidup yang materialistis juga dan standar kebahagiaannya tentu distandarkan pada perolehan materi semata.

 

Islam Memandang

 

Berbeda dengan Islam yang memiliki konsep yang unik dan menyeluruh yang tidak dimiliki oleh sistem dan ideologi lain. Pembeda utamanya yaitu karena adanya landasan Islam dari akidah yang selalu menyadarkan kepada aturan Allah swt. Aturan Allah swt ini adalah demi kemaslahatan hambaNya, karena hanya Allah yang lebih tahu mana yang terbaik untuk hambanNya.

 

Islam memandang pendidikan itu sebagai sebuah kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh negara. Jadi negara memiliki peran sentral dalam pengaturannya dan harus bersungguh-sungguh berupaya agar seluruh warganya mendapatkan akses yang sama terhadap pendidikan.

 

Dalam Islam kewajiban negara menyediakan tenaga pengajar yang ahli dibidangnya sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Negara juga akan menyeleksi dan mengontrol kualifikasi pendidik yaitu dengan ketinggian syakhsiyyah Islamnya, juga kapabilitas dia dalam mengajar. Negara akan menjamin distribusi guru dengan baik sesuai kebutuhan rakyat sehingga tidak akan terjadi huru-hara rakyat akibat tidak jelasnya mekanisme birokrasinya.

 

Jika sudah didapatkan tenaga pendidik yang sesuai kualifikasi, maka negara juga harus menjamin kesejahteraan hidup bagi para guru. Sehingga mereka bisa fokus dalam penelitian dan pengembangan ilmu bagi anak didik mereka. Guru tidak disibukkan dengan aktivitas mencari penghasilan tambahan misalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

 

Kewajiban negara memberikan gaji kepada tenaga pengajar yang bekerja di instansi pendidikan sistem pemerintahan islam (khilafah) di semua level Pendidikan. Khalifah Umar bin Khattab misalnya, pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 Dinar setiap bulan dan gaji ini diambil dari Baitul Mal atau dari kas negara.

 

Dengan kekuatan negara dalam Islam akan mampu menyelesaikan ketimpangan fasilitas sekolah di kota dan di desa. Pembangunan infrastruktur juga akan berfokus pada terwujudnya kemaslahatan umat bukan pada pemilik modal. Pembangunan sekolah dengan fasilitas dan yang terbaik dan terdepan pun akan masif dilakukan.

 

Adanya kebijakan marketplace guru ini membuktikan kegagalan pemerintah saat ini dalam mengatasi ketimpangan dan ketidakmerataan guru di desa dan di kota dan kegagalan ini adalah buah dari tata kelola sistem pendidikan yang materialistis. Maka, untuk menyelesaikannya tentu hanya bisa dengan mengubah paradigma tata kelola yang kapitalis itu menjadi paradigma Islam. Wallahu’alam. [LM/VF/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis