Hegomoni China, Dibalik Normalisasi Arab Saudi Iran

Oleh : Anastasia S. Pd. 

 

Lensa Media News – Tepat pada Jumat (10/3/2023), diplomat senior China, Wang Yi telah mengukir sejarah di Timur Tengah, di mana Arab Saudi dan Iran sepakat untuk memulihkan kembali hubungan diplomatiknya setelah terputus dalam 5 tahun terakhir. Kesepakatan pemulihan hubungan keduanya disepakati di Beijing, China. Detik.com, Kamis (16//03/ 2023).

Tentu ini merupakan gebrakan kekuatan China yang semakin eksis di kancah dunia internasional. Ketika dunia barat disibukan dengan perang Ukraina, China mampu mengisi ruang kosong di kawasan Timur Tengah, merekonstruksi perdamaian antara Taheran dan Riyadh. China dalam hal ini unggul dibanding AS, yang tidak memiliki hubungan baik dengan Iran, normalisasi kedua negara teluk ini pun membawa persepsi besar dikancah geopolitik dunia, di mana selama ini AS seolah-oleh menjadi polisi dunia, namun tidak pada normalisasi kali ini. Tentu ini adalah pukulan yang berat bagi Washington karena kita paham selama ini Arab Saudi merupakan sekutu penting bagi AS.

 

Hegomoni Politik di Balik Normalisasi 

Pada tahun 2022 Rusia merupakan salah satu pemasok minyak mentah terbesar China, namun kondisi Rusia yang dilanda perang memungkinkan spekulasi yang tidak menentu bagi keberlangsungan ekonomi China, yang tergantung pada minyak.

Hal ini yang mendorong China memposisikan menjadi negara yang mendamaikan Arab Saudi dan Iran. Keduanya adalah negara teluk penghasil minyak yang besar, hal ini merupakan alternatif yang lebih aman dan strategis secara politik, di mana pengaruh China di kawasan Timur Tengah semakin kuat, yaitu mengangkat posisi China di kancah dunia melalui pendekatan diplomatis. Apabila kedua negara tersebut larut dalam konflik yang panjang, tidak memiliki kepastian jelas, tentu hal tersebut akan akan menggangu neraca perdagangan minyak China.

Menurut Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim, yang dikutip oleh Republik Merdeka.com pada Senin (13/3/2023), China sangat berkepentingan dalam suksesi pulihnya hubungan dua negara Teluk tersebut. Kepentingan yang dimiliki China dinilai menjadi motivasi kuat dalam proses normalisasi hubungan Arab Saudi dan Iran. Ia pun menuturkan,

“Jika konflik Arab-Iran dibiarkan berkepanjangan, maka dapat membahayakan kepentingan China, ” ungkapnya.

 

AS, Akar Konflik Timur Tengah

Normalisasi antara Arab Saudi dan Iran yang diprakarsai China sesungguhnya, hanyalah untuk kepentingan ekonomi China. Akar konflik di Timur Tengah adalah intervensi AS dan barat. Mereka sengaja memainkan konflik di wilayah Timur Tengah. AS selama ini selalu menjadikan perang melawan teror sebagai alasan menjajah sebagian wilayah Timur Tengah, dengan alasan melawan ekstrimisme atau pun menciptakan konflik sektarian. Khusus konflik antara Arab dan Iran, AS berada di pihak Arab Saudi dengan memunculkan rivalitas perdagangan minyak.

Timur Tengah merupakan tempat lahirnya agama Islam, ideologi yang selama ini menjadi musuh barat. Potensi kuat inilah menjadi cikal bakal kebangkitan Islam, tentu membahayakan bagi eksistensi AS. Alhasil AS memalingkan perhatian umat terhadap kebangkitan Islam, dengan menciptakan konflik dan adu domba, sehingga umat sibuk terpecah belah, lantas muncul stigma negatif bahwa Islam identik dengan agama kekerasaan yang harus diganti dengan pandangan barat, apakah dengan demokrasi atau kapitalisme. Namun faktanya umat Islam semakin menderita, karena pangkal konflik itu adanya intervensi ideologi dan penjajahan AS.

 

Islam Melarang Bersekutu dengan Negara Kafir

Normalisasi Saudi Iran yang dijembatani China merupakan sesuatu yang haram, karena China negara komunisme yang anti Islam. China secara nyata China melakukan genosida terhadap etnis Uighur. Tentu ini menjadi bukti sesungguhnya China tidak memberikan solusi apa pun dalam perdamaian. Kepentingan China semata-mata untuk minyak.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia” (QS. Al Mumtahanah : 1)

Ayat ini adalah dalil yang melarang membuka jalan bagi kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.

Ayat ini sekaligus menjadi landasan atas politik luar negeri negara Islam. Politik luar negeri Islam memposisikan akidah Islam wajib menjadi dasar negara.

Maka, negara Islam tidak boleh menjadi negara dikuasai negara lain dalam bidang apa pun, wajib mempunyai kedaulatan penuh tanpa disetir negara lain. Hakikatnya mendamaikan sesama muslim adalah kewajiban muslim yang lainnya, tidak boleh seorang muslim bersekutu dengan orang kafir dan ikut campur di dalamnya. China adalah negara kafir yang memusuhi umat Islam, karena telah jelas membantai Uighur, menjerat kerja sama dengan dalih perdagangan dan utang, sehingga masuk kategori kafir harbi fi’lan yang harus dimusuhi. Sehingga jelas sikap kita sangat keras dan menolak segala jenis kerja sama dengan musuh Islam.

Wallahu’alam.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis