Remaja Makin Sadis, Apa Obatnya?

Oleh: Agu Dian Sofiyani

 

Lensa Media News-Kekerasan yang dilakukan oleh remaja saat ini semakin hari semakin meningkat kuantitasnya. Begitupun secara kualitatif, kekerasan yang dilakukan semakin sadis. Seperti yang terjadi baru-baru ini, Polisi menangkap tiga ABG diduga pelaku yang membacok siswa SMP di Sukabumi. Yang sangat membuat miris, beberapa anak dengan sengaja memvideokan proses kejadian tersebut melalui salah satu akun medsosnya yang sifatnya dapat ditonton secara langsung oleh masyarakat secara luas (Detik.com,24/03/2023)

 

Sungguh tak habis pikir, bisa-bisanya mereka sengaja memvideokan kejahatannya, seolah kejahatan tersebut adalah perbuatan yang membanggakan sehingga layak untuk dipertontonkan. Sekalipun realitas ini di luar nalar akal sehat tapi nyatanya inilah yang terjadi. Fakta ini menjadi alarm keras bahwa remaja kita saat ini sedang tidak baik-baik saja.

 

Di sisi lain, fakta ini juga menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang saat ini diterapkan, gagal mencetak generasi pemimpin bangsa yang shalih, berakhlak mulia dan unggul dalam ilmu dan teknologi. Buktinya adalah apa yang terjadi saat ini, kenakalan bahkan kejahatanlah yang lebih dominan dihasilkan oleh remaja dibandingkan dengan prestasi. Lantas apa solusi terbaik untuk masalah generasi ini?

 

Untuk menentukan solusi tepat atas masalah pada generasi, tentu kita harus menemukan akar masalahnya terlebih dahulu. Bila kita menelusuri secara mendalam akan kita dapatkan bahwa akar masalahnya terletak pada sistem sekularisme yang saat ini tengah diterapkan. Sistem sekularisme ini meniscayakan terpisahnya agama dengan kehidupan. Akibatnya, tak ada lagi ketakutan para remaja terhadap hari penghisaban. Halal dan haram tak lagi dihiraukan. Standar perbuatan berporos pada asas manfaat belaka. Kebebasan berprilaku jadilah diagungkan.

 

Begitu pun dengan sistem pendidikan saat ini, karena pondasinya adalah sekularisme, keshalihan tidak menjadi target output pendidikan. Fokus sistem pendidikan saat ini hanya mencetak manusia yang siap bekerja agar bisa menghasilkan materi sebanyak-banyaknya. Materialisme menjadi pondasi sistem pendidikan. Akhirnya output pendidikan hanya menghasilkan manusia yang orientasinya hanya materi bukan keridhoan Allah SWT.

 

Berbeda dengan sekularisme, Islam memandang agama tidak boleh terpisah dengan kehidupan. Keimanan kepada Allah haruslah menjadi pondasi dalam melaksanakan seluruh perbuatan. Karena Allah SWT menciptakan manusia dalam rangka beribadah kepadaNya. Sehingga perbuatan manusia harus terikat kepada hukum syariat. Halal dan haram harus menjadi pijakan ketika melakukan seluruh perbuatan, karena di akhirat seluruh manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan yang telah dilakukan di dunia.

 

Maka sistem pendidikan dalam Islam pun menjadikan keimanan kepada Allah SWT sebagai pondasi dalam pembuatan kurikulum pendidikan. Target output dalam sistem pendidikan Islam adalah generasi shalih, yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam dan terdepan dalam ilmu dan teknologi. Maka tak heran ketika sistem pendidikan Islam ini dulu diterapkan, mampu mencetak output manusia, yang tidak hanya memiliki ketakwaan yang tinggi tapi juga unggul dalam bidang ilmu dan teknologi.

 

Misalnya saja sosok guru Muhammad Al-Fatih, yaitu Syekh Aaq Syamsuddin. Beliau telah mendefinisikan kuman pada abad ke-15 M. Dialah orang yang pertama melakukan hal itu, empat abad sebelum ahli kimia dan biologi asal Prancis, Louis Pasteur, melakukan penelitian dengan hasil yang sama. Padahal, saat itu belum ditemukan mikroskop. Sosok beliau hanyalah salah satu dari sekian banyak ulama yang sukses sebagai ilmuwan.

 

Begitulah keberhasilan sistem pendidikan Islam mencetak generasi yang tidak hanya bertakwa tapi juga terdepan dalam ilmu dan teknologi. Maka jika kita ingin menyelesaikan masalah pada remaja saat ini, solusinya hanya satu yakni kembali kepada Islam dengan menerapkan sistem Islam secara sempurna dan menyeluruh. In shaa Allah jika Islam diterapkan, maka tak akan ada lagi potret buram remaja yang menghiasi peradaban. Wallahu’alam. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis