Tradisi “Harga Naik”, Sampai Kapankah Terjadi?
Oleh: Nurintan Sri Utami
Lensa Media News – Bersiap meninggalkan bulan Sya’ban, umat Islam akan segera memasuki Bulan Ramadhan, bulan yang harusnya penuh dengan kekhusyukan beribadah dan ketenangan. Namun sepertinya dapat berubah menjadi kekhawatiran karena ‘hadiah’ yang diperoleh rakyat. “Hadiah” kenaikan harga yang disinyalir akan terjadi menjelang ramadhan.
Lonjakan harga-harga terutama kebutuhan pokok terus berulang tiap tahun. Hal ini bukanlah kesalahan teknis semata, seperti faktor distribusi, faktor produksi dan lain sebagainya. Namun, masalah utama yang terjadi muncul karena penerapan sistem kapitalisme yang menganut asas pasar bebas dan minimalisasi peran pemerintah di dalamnya. Hingga muncullah masalah, pasar akan bisa dikuasai oleh satu produsen dan para kartel mudah mempermainkan harga. Hal ini sangat bisa diprediksi oleh penguasa. Akhirnya, penguasa pun menganggap kenaikan harga secara kontinyu adalah hal yang sangat biasa. Peristiwa semacam ini akan terus terjadi jika masyarakat tetap memilih untuk menerapkan sistem ekonomi kapitalis.
Sudah seharusnya, publik tidak pasrah dan menormalisasi kenaikan harga karena kesalahan mengakar pada sistem. Justru, kenaikan harga ini berbahaya untuk stabilitas ekonomi dan politik negeri. Bahkan bisa menyebabkan kekacauan dan krisis politik yang memakan korban jiwa. Maka dari itu, perlulah publik sepatutnya menyelesaikannya dengan sistem alternatif yang memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam dalam bingkai Khilafah.
Negara yang di dalamnya terterapkan sistem ekonomi Islam dapat melakukan upaya antisipasi agar tidak ada gejolak harga dan rakyat mudah mendapatkan kebutuhannya. Hal tersebut tidak dilakukan dengan cara mematok harga seperti yang dilakukan oleh pemerintah hari ini.
Sistem berbasis akidah Islam memberi pondasi bahwa negara tidak boleh mengeluarkan kebijakan mematok harga, sesuai sabda Rasulullah “Allah-lah Dzat Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi rezeki, dan Mematok harga.” (HR Ahmad dari Anas). Pematokan harga tersebut nyatanya memang bisa menyebabkan inflasi bukan stabilisasi. Harga akan mengikuti mekanisme pasar yaitu penawaran dan permintaan.
Khilafah boleh mengintervensi pasar dengan penawaran barang. Semisal di suatu wilayah penawaran turun, maka Khilafah akan memasok barang dengan mendatangkan dari wilayah lain. Namun jika yang terjadi adalah penimbunan barang oleh pedagang, maka Khilafah akan mengintervensi dengan menjatuhkan sanksi kepada pelaku pelanggaran. Sanksinya adalah sanksi ta’zir dan wajib menjual barang yang ditimbunnya ke pasar sehingga pasokan barang bisa kembali normal. Khilafah juga akan mengawasi secara terus-menerus praktik jual belli di pasar ini. Akhirnya, sistem Islam benar-benar menjamin kepentingan rakyat agar mudah dalam akses kebutuhan.
[LM/nr]