Kesejahteraan Melalui Kartu Prakerja, Hanya Ilusi Semata?
Oleh: Novriyani, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
Lensa Media News-Pada tahun 2023, pemerintah akan melanjutkan program kartu pra kerja yang sebelumnya telah dilakukan pada masa pandemi covid-19 lalu. Pasalnya, akan ada perubahan penyesuaian skema semi bansos pada Program Kartu Prakerja menjadi skema normal.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Program Kartu Prakerja tersebut akan lebih difokuskan pada bantuan peningkatan skill dan produktivitas angkatan kerja, berupa bantuan biaya pelatihan secara langsung kepada peserta dan insentif pasca pelatihan. Pemerintah akan melakukan penyesuaian besaran bantuan yang diterima peserta senilai Rp4,2 juta per individu dengan rincian berupa bantuan biaya pelatihan sebesar Rp3,5 juta, insentif pasca pelatihan Rp600 ribu yang akan diberikan sebanyak 1 kali, serta insentif survei sebesar Rp100 ribu untuk dua kali pengisian survei (ekon.go.id, 3/10/2022).
Terlebih, Direktur UNESCO Institute for Lifelong Learning David Atchoarena mengatakan bahwa program Kartu Prakerja telah mendapatkan pengakuan internasional atas keberhasilan memanfaatkan teknologi digital dan menjadi game changer atau membawa perubahan besar dalam upaya meningkatkan pembelajaran bagi orang dewasa di luar pendidikan formal (kompas.com, 12/2/2023).
Sejatinya program Kartu Prakerja tidak berdampak banyak dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Sebab faktanya jumlah kemiskinan dan pengangguran tidak berkurang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data penduduk miskin pada September 2022 sebesar 9,57 persen, meningkat 0,03 persen poin pada Maret 2022 dan menurun 0,14 persen poin pada September 2021. Sementara itu, jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 8,42 juta orang pada Agustus 2022.
Lantas, benarkah keberadaan kartu prakerja mampu menuntaskan permasalahan ini? Jika mengamati data yang ada justru semakin banyak kemiskinan dan pengangguran sekalipun kartu prakerja ini telah dikeluarkan sebelumnya.
Meskipun adanya perubahan penyesuaian skema kartu pra kerja pada tahun ini dan dengan jumlah insentif tinggi, tetap saja anggaran itu hanya diterima peserta sedikit. Insentif terbanyak diberikan untuk biaya pelatihan. Padahal, masyarakat saat ini butuh lapangan pekerjaan bukan pelatihan yang justru hanya menghabiskan uang negara. Seharusnya anggaran yang ada bisa dialihkan untuk membuka lapangan pekerjaan.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa negara telah gagal mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Insentif yang diberikan pada peserta Kartu Prakerja tidak akan cukup memberikan modal untuk berwirausaha. Belum lagi, beban ekonomi masyarakat yang bertambah akibat kebutuhan pokok yang terus merangkak naik.
Hal ini tidak lepas dari sistem kapitalisme di negeri ini. Penguasa hanya sebagai regulator yang memberikan ruang besar bagi para korporasi untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya atas potensi sumber daya alam (SDA) di negeri ini. Negara abai terhadap urusan rakyatnya, padahal pada saat yang sama banyak rakyat tidak memiliki pekerjaan. Kalaupun ada perusahaan asing yang membuka peluang kerja, rakyat Indonesia hanya sebagai buruh dengan sederet kebijakan dan gaji rendah.
Dalam Islam kesejahteraan adalah hak rakyat. Sejahtera sendiri adalah terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok masyarakat dengan baik. Seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara murah bahkan gratis. Sehingga, negara bukan sekadar regulator dan fasilitator saja. Negara juga memastikan setiap laki-laki mendapat pekerjaan dan penghasilan yang cukup. Inilah prinsip pengurus rakyat (riayah suunil ummah) dalam Islam.
Sebagaimana dalam hadits yang menyatakan bahwa :“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Selain itu, dalam sistem ketenagakerjaan, negara menjamin perusahaan atau industri harus mengikuti ketentuan Islam. Misalnya, akad ketenagakerjaan yang jelas mencakup hak dan kewajiban pekerja, pembayaran sesuai pekerjaan yang dilakukan secara wajar, pemberian upah sebelum kering keringatnya, dan rida antara majikan dan pekerja sehingga tidak ada kezaliman di antara keduanya.
Negara mengembangkan sektor riil, seperti perdagangan, pertanian, industri, dan jasa. Tidak boleh ada praktik monopoli, mafia/kartel, penipuan harga, penimbunan barang, dan lain-lain. Setiap transaksi ekonomi harus berlandaskan pada syariat Islam. Sedangkan dalam sektor pertanian, tanah yang ditelantarkan selama 3 tahun akan diambil dari pemiliknya.
Terlebih, bagi masyarakat yang benar-benar miskin dan tidak berkemampuan bekerja, maka kerabat atau ahli waris yang mampu yang wajib menafkahinya. Jika tidak ada ahli waris, negaralah yang wajib menafkahi dan memenuhi kebutuhan pokoknya.
Demikianlah mekanisme sistem Islam dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran. Semua itu tidak akan terwujud kecuali mengganti sistem kufur kapitalisme dengan sistem Islam, yakni dengan menerapkan syariat Islam di bawah naungan khilafah. Wallahu’alam. [LM/ry].