Antara Multipartai, Polarisasi dan Legitimasi

Oleh: Ummu Zhafran, Pegiat Literasi

 

Jelang pergantian tahun ini, hawa pesta demokrasi semakin merebak. Minggu lalu akhirnya 17 partai politik (parpol) ditetapkan sebagai peserta untuk Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dibanding sebelumnya, ada empat partai baru yang bakal ikut meramaikan kontestasi. Sayang, penetapan diwarnai protes dari partai yang tak lolos verifikasi. (bbc.com, 15/12/2022) Jadi menggelitik untuk dicermati, apakah bertambahnya parpol bukti keberhasilan edukasi atau justru berisiko memicu polarisasi?

 

Wajarlah bila sebagian kalangan menuding demikian. Idealnya, sebuah parpol merupakan representasi dari sebuah visi dan misi yang diemban. Secara logika, makin banyak partai makin beragam visi misi yang akan diraih tiap parpol. Tentu hal ini berpotensi memunculkan polarisasi di antara pendukung tiap partai tersebut. Bahkan dalam menetapkan Indeks Kerawanan Pemilu 2024, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) juga menilai polarisasi sebagai satu di antara pemicu rawannya kondisi saat pemilu. (katadata.co.id, 17/12/2022)

 

Itu satu sisi. Sisi yang lain, berjubelnya kontestan Pemilu tersebut akan sampai pada mekanisme dalam demokrasi untuk memilih berkoalisi atau oposisi. Yang mengherankan bila banyak parpol memilih koalisi, lalu di mana visi, misi dan prinsip parpol yang dianut sebelumnya? Padahal visi misi itulah sejatinya yang membuat satu partai unik, idealis, berbeda satu dengan yang lainnya.

 

Mengutip Prof. Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, parpol adalah suatu kelompok terorganisasi yang anggotanya memiliki orientasi, nilai dan cita-cita (baca:idealisme) yang sama, serta memiliki tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik. Namun ketika idealisme tersebut mudah tergadai dengan koalisi, pada akhirnya legitimasi parpol patut dipertanyakan. Benarkah parpol yang terbentuk adalah partai yang hakiki atau sekedar sekelompok orang yang sedang berupaya mengais rezeki lewat anggaran dari APBN yang nominalnya tembus 6 triliun/tahun. Miris.

 

Lepas dari apa pun itu, yang terjadi kini tak seharusnya membuat umat menanggalkan sikap kritis dan peduli. Kentara sekali seluruh gonjang-ganjing dunia politik Ibu Pertiwi mengakar pada penerapan kapitalisme-demokrasi yang berlaku. Sekularisme sebagai asasnya mau tidak mau menggiring umat pada sikap pragmatis. Demi ambisi harta dan tahta, tak segan menempuh segala cara meski menyulut polarisasi dan mempertaruhkan legitimasi.

 

Tetapi, bukankah memang seperti itu demokrasi yang tegak di atas sekularisme? Sistem politik ini menjadikan suara manusia mengalahkan suara Tuhan. Bahkan, tak memandang perlu membedakan suara itu datang dari orang saleh atau salah. Tak lain karena syariat agama yang idealnya jadi sumber dan standar nilai moral, sudah lebih dulu dipisahkan dari kehidupan.

 

Alangkah berbeda dengan Islam. Islam adalah ideologi yang sempurna. Di dalamnya tak hanya pedoman, namun juga tuntunan menjalankan hidup di dunia. Terkait keberadaan parpol maka Islam mensyariatkan hukumnya wajib.

 

Dan hendaklah di antara kamu ada golongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran :104)

Makna yang dimaksud dari ayat ini ialah hendaknya ada segolongan orang dari kalangan umat ini yang mengemban urusan tersebut, sekalipun urusan itu memang diwajibkan pula atas setiap individu dari umat ini. (Tafsir Imam Ibnu Katsir) Maka, tujuan parpol adalah dakwah kepada Islam, baik dalam konteks menyeru pada yang makruf dan mencegah dari mungkar maupun mengajak non-Muslim agar bersedia memeluk Islam dengan sukarela.

 

Lebih jauh ketika syariat Islam mengatur pemerintahan, peranan partai politik ini adalah untuk melakukan fungsi muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Inilah fungsi dan peranan yang dimainkan oleh partai politik dalam bingkai negara yang menerapkan Islam kafah. Sebab pemerintahan khilafah, yaitu sistem pemerintahan yang diwariskan Rasulullah saw., bukan malaikat. Penguasanya seorang khalifah yang notabene manusia biasa, tak luput dari khilaf dan lupa.

 

Maka, potensi kesalahan mutlak ada terlebih dengan kekuasaan dalam genggaman. Bisa saja di saat tertentu ketakwaan yang menjadi tameng diri penguasa melemah. Maka, kontrol dari rakyat, termasuk partai politik ini sangat dibutuhkan guna meluruskan sesuai syariat. Tidak hanya itu, partai juga mengambil peran dalam memberikan edukasi dengan terus memahamkan umat manusia tentang Islam dan syariatnya.
Alhasil, negara dan parpol dalam naungan syariah kafah bagaikan dua sejoli. Yang satu menjamin penerapan syariah kafah, lainnya sigap mengoreksi, mengawasi dan memberi edukasi. Niscaya negara tegak dengan stabil, aman dan sejahtera. Wallahua’lam.

Please follow and like us:

Tentang Penulis