Second Home Visa, Mengancam Stabilitas Negara?
Oleh: Yulweri Vovi Safitria
Lensa Media News – Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI resmi meluncurkan kebijakan visa rumah kedua (second home visa). Kebijakan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Nomor IMI-0740.GR.01.01 Tahun 2022 Tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Terbatas Rumah Kedua yang diterbitkan pada Selasa, 25 Oktober 2022.
Peluncuran kebijakan ini tepat sebelum pelaksanaan KTT G20. Pemerintah beralasan, kebijakan ini untuk menarik wisatawan mancanegara datang ke Bali dan berbagai destinasi lainnya. Hal tersebut disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Imigrasi Widodo Ekatjahjana pada acara peluncuran second home visa di Bali, Selasa (25/10/2022). Dengan visa ini pula orang asing atau eks Warga Negara Indonesia bisa tinggal selama 5 atau 10 tahun dan dapat melakukan berbagai macam kegiatan, seperti investasi dan kegiatan lainnya di Indonesia. Sehingga dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja di Indonesia. (kompas.com, 27/10/2022)
Pro dan Kontra Second Home Visa
Kebijakan second home visa menimbulkan sejumlah kritik. Pasalnya kebijakan ini terkait pemberian hak istimewa yang akan diperoleh Warga Negara Asing (WNA) yang berminat tinggal di Indonesia. Pengamat Komunikasi Politik Hendri Budi Satrio mempertanyakan urgensi dari kebijakan yang baru saja diluncurkan. Menurutnya, kebijakan tersebut belum diperlukan. Dugaan kebijakan second home visa atau visa rumah kedua bermuatan politis pun muncul ke publik, sebab hal ini terjadi menjelang proses pemilu 2024. Kebijakan ini disinyalir berpotensi sebagai alat kecurangan pada pemilu mendatang untuk memenangkan salah satu paslon kontestan.
Second Home Visa Berbahaya?
Meskipun menuai kritik, nyatanya kebijakan second home visa akan resmi diberlakukan pada 24 Desember 2022 mendatang yaitu 60 hari sejak surat edaran diterbitkan pada 25 Oktober lalu. Kebijakan second home visa patut diwaspadai, dugaan terjadinya migrasi besar-besaran warga Cina pun mencuat. Jamak diketahui, WNA asal Cina banyak menetap dan bekerja di Indonesia. Bahkan saat pandemi melanda, TKA asal Cina terus berdatangan. Mungkin benar adanya pernyataan Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa mayoritas pekerja industri nikel tanah air didominasi oleh tenaga kerja asing (TKA) asal China. Mulai dari daratan sampai tukang las. Hal tersebut tentu sangat disayangkan, sekaligus menjadi alarm bahwa keberadaan WNA asal Tirai Bambu tersebut bukan main-main.
Tidak hanya itu, para investor yang merupakan pemilik modal dengan kewarganegaraan asing, notabene adalah tuan dan puan, serta para sultan. Mereka berperan sebagai majikan, sedangkan lapangan kerja yang tersedia untuk warga pribumi mungkin hanya sebagai buruh kasar, pembantu, tukang kebun, dan lain-lain. Diduga hal ini berpotensi terjadinya perbudakan pada kaum pribumi. Maka timbul pertanyaan, apakah peluang terbukanya lapangan kerja dengan kebijakan second home visa tersebut adalah untuk masyarakat pribumi atau justru lapangan kerja untuk warga asing?
Akar Masalah
Berbagai masalah yang timbul belakangan ini bukan tanpa sebab. Pengambilan keputusan, kekerasan, kriminal, tumpang tindihnya hukum dan kebijakan, hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah, tidak lain dan tidak bukan karena jauhnya manusia dari aturan Islam. Islam yang seharusnya menjadi standar mengambil keputusan dan memutuskan suatu perkara, hanya digunakan untuk mengurus perkara ibadah, seperti salat, puasa, haji, nikah, ataupun talak. Sedangkan untuk mengatur ekonomi, sosial, politik hingga bernegara, memilih aturan kapitalisme yang diadopsi dari Barat.
Sekilas nampak indah, dengan polesan hak asasi manusia. Namun faktanya, kapitalisme justru menyengsarakan, yang kaya semakin kaya, yang miskin kian merana. Negara seolah tak punya jati diri, mudah disetir oleh kepentingan pengusaha dan para pemilik modal.
Melihat kondisi yang semakin tidak karuan, maka wajar jika masyarakat menginginkan aturan Islam kembali ditegakkan di setiap lini kehidupan. Masyarakat rindu keadilan dan kesejahteraan, lapangan kerja, tempat tinggal yang layak, akses pendidikan, dan kesehatan yang memadai.
Khatimah
Islam datang untuk mengatur seluruh aspek kehidupan dengan seperangkat aturan yang bersumber dari Allah. Islam mengatur bahwa seorang kepala negara atau pemimpin (khalifah) berperan menjaga keutuhan negaranya. “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu laksana perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Dalam Islam, seorang pemimpin tidak boleh menjadi pengusaha ataupun sebagai regulator yang memuluskan kepentingan asing maupun pengusaha dan pemilik modal. Bukan pula sebagai makelar untuk negaranya, dengan dalih mengundang investor. Islam mengatur sedemikian rupa. Lantas, tidakkah kita merindukan Islam mengatur kehidupan ini?
Wallahu a’lam bishshawab.
[LM/Ah]
Please follow and like us: