Reformasi Hukum Peradilan Demokrasi, Mampukah Atasi Korupsi
Oleh: Umi Diwanti
(Aktivis Muslimah Kalsel)
Kasus Koperasi Intidana telah menyeret orang nomor satu dalam sistem peradilan negeri ini menjadi tersangka pelaku korupsi. Saat ini (mantan) ketua Mahkamah Agung telah resmi memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan pasca menyerahkan diri terkait Operasi Tangkap KPK. (tempo.co, 12/10/22)
Sungguh kasus yang sangat memalukan sekaligus menyedihkan. Sosok yang menjadi tumpuan tertinggi keadilan justru melakukan pelanggaran. Lembaga yang seharusnya mengadili kasus korupsi malah ramai-ramai jadi pelakunya.
Dari kasus ini presiden meminta Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk melakukan reformasi peradilan dengan menciptakan konsep besar sistem lembaga peradilan. “Bukan hukum acaranya, tetapi nanti akan ada pengaturan-pengaturan agar sambungannya ini jelas gitu…” Kata Mahfud MD. (kompas.com, 4/10/22)
Berbicara terobosan penyelesaian kasus korupsi di negeri ini sebenarnya ini bukan pertama kali. Bahkan adanya KPK itu sendiri adalah salah satu terobosan untuk memberantas korupsi. Namun faktanya setelah keberadaannya korupsi bukannya berhenti namun semakin terang-terangan dilakoni oleh para petinggi. Termasuk para pejabat di tubuh KPK itu sendiri (kompas.com, 26/4/21). Karenanya reformasi birokrasi peradilan korupsi ini tak bisa diandalkan.
Pasalnya yang menjadi masalah utama terjadinya korupsi itu bukan seksdar dalam tata aturan peradilannya saja. Tapi dari berbagai arah. Di antaranya dari sistem pendidikan yang materialistis. Target pendidikan saat ini tidak lain hanyalah menjadikan ilmu dan ijasah sebagai alat pengepul uang. Sangat jauh dari target mencetak peserta didik yang kuat imannya dan paham kehendak Tuhannya, sehingga takut melakukan pelanggaran.
Penyelenggaraan pendidikan berbiaya mahal dan dibebankan pada peserta didik. Itupun tak dijamin mereka mudah mencari pekerjaan. Bukan rahasia lagi bahwa untuk mendapatkan pekerjaan atau jabatan, sangat sering kali masih harus mengeluarkan biaya. Hal ini mendorong seseorang yang akhirnya memperoleh pekerjaan atau jabatan otomatis akan menjadikan pekerjaan atau jabatannya itu untuk mengembalikan modal yang pernah dikeluarkan. Baik semasa sekolah tadi atau modal untuk mendapatkan jabatan tadi. Akhirnya korupsi menjadi pilihan yang sangat menggiurkan.
Dalam Islam visi misi utama pendidikan adalah menciptakan manusia yang taat kepada Allah secara totalitas. Jabatan akan diberikan kepada mereka yang tidak hanya mampu, tapi juga adil. Tindakan korupsi dicegah sejak awal dalam urusan rekrutmen pekerjaan atau jabatan ini. Semua dipilih berdasarkan kompetensi dan dedikasi. Jika sampai ditemukan bukti perbuatan rasuah di dalamnya maka akan ditindak tegas tak peduli siapa pelakunya.
Namun demikian, sebelum penindakan tegas pada pelaku korupsi, Islam mewajibkan negara untuk memastikan setiap warga negaranya telah dibina aqidahnya dan telah dipahamkan aturan Islam melalui sistem pendidikan yang ada. Kemudian lapangan pekerjaan disediakan seluas-luasnya agar semua dapat kesempatan menyongsong rezekinya sesuai kemampuannya masing-masing.
Negara akan memberikan perhatian lebih pada mereka yang bekerja pada pemerintah khususnya yang melakukan pelayanan pada masyarakat. Negara sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan para pegawai negaranya. Akan dipastikan mereka hidup layak hingga tidak merasa perlu lagi untuk mencari tambahan pemasukan di luar upah yang telah diberikan negara.
Namun demikian Islam juga mewajibkan negara menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya secara umum. Sehingga tidak satu pun ada warga negara yang khawatir pada kehidupannya di masa tua atau kehidupan anak cucunya nanti yang bisa menjadikan seseorang nekat menimbun harta dengan melakukan kecurangan.
Adanya jaminan kehidupan, ditambah suasana keimanan yang terbangun dari hidupnya amar makruf nahi mungkar sebagai bentuk kepedulian sesama. Juga adanya pemanfaatan media sebagai sarana pembinaan keimanan dan ketaqwaan masyarakat, menjadikan setiap orang yang hidup di dalamnya akan memiliki kecenderungan pada ketaatan.
Demikianlah tidak akan ada lagi orang yang melirik harta haram di antaranya menerima rasuah atau korupsi. Jikapun terjadi itu hanyalah kekhilafan yang pastinya sangat jarang terjadi. Untuk itu akan dijatuhi sanksi ta’zir berupa tasyhir atau pemberitahuan ke publik, penyitaan harta dan hukuman kurungan, hingga hukuman mati. Sanksi ini efektif menjadi pencegah kasus serupa di kemudian hari.
Hanya saja ini tidak akan terjadi hanya dengan melakukan reformasi hukum peradilannya saja melainkan harus mereformasi sistem kehidupan yang melandasi peradilan yang ada. Yakni dengan meninggalkan sistem demokrasi sekuler yang terang-terangan menjauhkan ajaran Islam dari aturan kehidupan. Padahal Islam lah pemilik aturan paripurna yang efektif mengatasi korupsi. Negeri ini harus segera kembali pada Islam sebagai aturan kehidupan. Niscaya korupsi segera teratasi. (LM/LN)