RUU Sisdiknas, Nasib Guru Kian Panas
Oleh : Aprilya Umi Rizkyi
(Pegiat Literasi)
LenSaMediaNews.com – Sungguh miris melihat nasib para guru di masa depannya nanti. Saat ini pemerintah sedang menggodok omnibus law tentang Sisdiknas. Salah satu poin krusialnya adalah tentang hilangnya klausul tunjangan guru dalam draf RUU Sisdiknas.
Sungguh disayangkan, dalam proses pembuatan RUU Sisdiknas ini menuai kontra di antara anggota DPR itu sendiri. Bahkan sejumlah fraksi DPR menolak RUU Sisdiknas masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) perubahan tahun 2022 karena ada sejumlah pasal yang dinilai kontroversi, salah satunya mengenai tunjangan guru.
Selain itu, RUU tersebut tidak menjawab permasalahan pendidikan yang terjadi saat ini. Berikut adalah beberapa pasal yang kontroversial :
Pasal 7, mewajibkan seluruh warga negara Indonesia mengenyam wajib belajar yang semula 9 tahun, kini menjadi 13 tahun. Yaitu pendidikan dasar selama 10 tahun dan pendidikan menengah 3 tahun. Wajib belajar ini berlaku secara nasional. Adapun pendidikan dasar meliputi kelas prasekolah dan kelas 1-9 (10tahun). Sedangkan pendidikan menengah mencakup kelas 10-12.
Pasal 31, kata Madrasah dihilangkan bersama nama satuan pendidikan formal lainnya seperti SD, SMP, SMA tetapi diganti dengan istilah pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan keagamaan.
Pasal 105, huruf a hingga huruf h yang memuat hak guru/pendidik tidak ditemukan satupun klausal hak guru mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Pasal ini hanya memuat klausal hak pengupahan. Jaminan sosial dan penghargaan yang disesuaikan dengan profesi saja.
Pasal 109, calon guru harus lulus pendidikan profesi guru (TPG). Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang yang akan menjadi guru wajib dari pendidikan guru (TPG).
Dalam hal ini Koordinator Nasional P26, Satriwan Salim mengungkapkan, hilangnya pasal TPG dalam RUU Sisdiknas akan membuat jutaan guru dan keluarga kecewa. Mereka akan menilai penghapusan pasal ini adalah mimpi buruk bagi guru. “RUU Sisdiknas yang menghapus pasal TPG seperti mimpi buruk bagi jutaan guru, calon guru dan keluarga mereka. “Dihilangkannya TPG ini sedang jadi perbincangan serius di intern organisasi guru dan WAG guru,” Jelas Satriawan Salim dalam keterangan tertulis pada beritasatu.com.
Sementara itu pakar pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), menilai frasa Madrasah sebaiknya tetap dicantumkan pada undang-undang Sisdiknas tahun 2003 yang masih berlaku. Ia menilai hal tersebut dapat berdampak positif dan negatif dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Dampak negatif yang mungkin terjadi adalah terkait dengan aturan yang diturunkan dari pusat ke daerah tentang anggaran untuk madrasah. Meskipun demikian, hilangkan frasa madrasah turut dianggap sebagai langkah tidak adanya lagi diskriminasi dalam satuan pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa madrasah dan sekolah sama dalam sistem pendidikan.
Padahal jika kita pahami bahwa sesungguhnya merekalah yang menjadi beban karena telah memotong gaji pegawai dengan berbagai macam iuran. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa sistem kapitalisme telah gagal menjamin kesejahteraan para pegawai negeri sipilnya.
Hal ini akan jauh berbeda ketika sistem islam yang diterapkan oleh sebuah negara dalam naungan khilafah. Mekanisme dalam islam ada untuk menangani masalah kepegawaian dan mengatur jaminan serta pensiun. Akan tetapi adanya mekanisme ini membutuhkan peran negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah termasuk penerapan sistem ekonomi Islam.
Syaikh Taqiyuddin an Nabani seorang Mujtahid besar menjelaskan mekanisme ini dalam kitab Nidzomul Iqtisodiah (sistem ekonomi Islam) tentang bab pemasukan dan pengeluaran Baitulmal. Baitulmal adalah lembaga keuangan khilafah yang memiliki tiga pos pemasukan yaitu kepemilikan negara, kepemilikan umum dan zakat. Setiap pos memiliki jalur pemasukan dan pengeluaran masing-masing.
Misalnya pos kepemilikan negara bersumber dari harta fa’i, kharaj, usyur, jizyah, ghonimah, gholul, ghoribah dan lain-lain. Salah satu alokasi dana ini digunakan untuk menggaji para tentara dan pegawai negeri, hakim, tenaga edukatif dan pihak-pihak yang telah membantu jasa kepada negara. Besaran gaji yang diterima oleh para pegawai sangat besar.
Sebagai contoh, pada masa Khalifah Umar bin Khattab memberikan teladan terbaik dalam mengatur gaji pegawai. Diberikan dalam jumlah yang besar dan terkecukupi serta sejalan dengan kondisi umum bagi umat. Sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pegawai dan keluarganya.
Ketika itu Khalifah Umar bin Khattab telah memberikan gaji seorang guru di Madinah senilai 15 Dinar. Jika dirupiahkan 1 Dinar setara dengan 4,25 gram emas murni 24 karat yang seharga Rp. 950.000 per gramnya. Jadi total gaji yang diterima seorang guru sebesar 4,25x15x950.000=Rp. 60.562.500.
Seluruh pegawai yang bekerja untuk negara diatur sepenuhnya di bawah hukum ijarah (kontrak kerja). Mereka mendapatkan keadilan sesuai dengan hukum syara’. Hak-hak mereka dilindungi oleh khalifah, baik pegawai biasa ataupun direktur. Mereka bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing dan selalu diperhatikan hak serta kewajiban mereka sebagaimana pegawai negeri maupun sebagai rakyat biasa.
Khalifah akan mendapatkan gaji dan jaminan sesuai yang ditentukan oleh hukum syara’. Tidak ada potongan-potongan gaji lagi dari para pegawai negeri. Gaji mereka utuh dan tercukupi untuk kebutuhan publik seperti biaya pendidikan, kesehatan dan keamanan karena semua biaya ditanggung langsung oleh pemerintah (khalifah).
Khilafahlah yang akan menanggung semua kebutuhan tersebut secara mutlak. Sehingga seluruh masyarakat baik masyarakat biasa maupun pegawai negeri bisa mengakses dan menikmati layanan secara gratis dan mudah. Jaminan akan diberikan oleh pos kepemilikan umum Baitulmal yang bersumber dari pengelolaan SDA. Oleh karena itu, pegawai negeri khilafah tidak akan bingung terkait dengan nasib mereka di masa tuanya karena jaminan yang diberikan khilafah sangat besar.
Allahua’lam bishowwab.
[AAH/LM]