Kontestasi Pasca Kenaikan BBM, Wajarkah?
Oleh Firda Umayah
Lensa Media News-Pasca kenaikan harga BBM pada Sabtu, 3 September 2022, masyarakat dihebohkan dengan pertemuan politik antara para petinggi negara. Pertemuan antara Ketua DPP PDIP Puan Maharani dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada Ahad, 4 September 2022, dinilai bisa mengancam ambisi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar untuk menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2024. Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro menyatakan bahwa PDIP tak mungkin melepas kursi presiden atau wakil presiden jika mereka jadi bergabung dengan koalisi Gerindra dan PKB (tempo.co/04/09/2022).
Apa yang dilakukan oleh para petinggi negara sungguh sangat disayangkan. Pasalnya, disaat rakyat sedang sulit memikirkan dampak domino dari kenaikan harga BBM, para petinggi negara justru menyibukkan diri untuk mencari pasangan kontestasi. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi sikap para petinggi negara nanti yang akan mengambil kesempatan untuk mendekati rakyat dengan janji-janji manis seperti yang telah lalu.
Padahal, kesibukan para petinggi negara dalam kontestasi dan upaya pencitraan diri merupakan bukti bahwa mereka tak berempati kepada nasib rakyat. Bukannya membantu rakyat untuk menyuarakan jeritan hati mereka, para petinggi negara justru mendukung penuh rezim yang semakin menyengsarakan rakyat. Kalaupun pemerintah berjanji akan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), namun bagi rakyat kemudahan dalam mengakses segala kebutuhan hidup merupakan hal yang selama ini mereka idamkan.
Inilah yang selalu nampak didalam sistem pemerintahan demokrasi. Dimana rakyat selalu dicari menjelang pemilu (pemilihan umum). Dibujuk dan dirayu agar kembali memilih pasangan calon pemimpin yang disuguhkan. Namun akan diabaikan begitu saja calon pemimpin yang terpilih menaiki kursi tahta. Akankah rakyat kembali tertipu untuk yang kesekian kalinya?
Sudah sepatutnya rakyat melihat dengan seksama bahwa sistem demokrasi tak akan pernah berpihak kepada rakyat. Sebab sistem ini lahir dari ideologi kapitalisme. Dimana sekularisme menjadi landasan berpikir pemeluknya. Agama tak lagi menjadi pedoman hidup. Sehingga tolak ukur perbuatan dalam ideologi ini hanya untuk meraih keuntungan materi semata.
Wajarlah jika para petinggi negara yang telah naik tahta hanya berorientasi kepada para kapitalis. Sebab para kapitalislah yang membantu mereka untuk bertarung di pertarungan politik yang menghabiskan banyak biaya. Rakyat dalam sistem pemerintahan kapitalisme yakni sistem demokrasi bukanlah prioritas. Namun merupakan target sasaran agar dapat memberikan manfaat bagi para petinggi negara dan negara.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem pemerintahan didalam Islam. Islam memandang bahwa pemerintah merupakan penanggung jawab atas segala urusan rakyatnya. Sehingga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Imam (pemimpin negara) merupakan pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, pemimpin harus memimpin sesuai dengan apa yang Allah SWT perintahkan. Pemimpin dapat meneladani kepemimpinan Rasulullah SAW dalam memimpin negara. Sebagaimana Rasulullah SAW telah memimpin Madinah. Sehingga pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam akan menjadi pemimpin yang baik, amanah dan dicintai rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu” (HR Muslim). Wallahu a’lam bish showab. [LM/Sfh/ry]