Akankah Revisi RUU SISDIKNAS Membuat Guru Sejahtera?
Oleh : Nurul Hariani, S.Pd.
(Aktivis Muslimah dan Pendidik)
Lensa Media News – Guru yang disematkan sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang harus diayomi setiap kebutuhan dan disejahterakan oleh negara, namun faktanya menjadi tangisan bagi guru-guru saat ini. Di tengah harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, gaji guru terancam berkurang signifikan. Tunjangan guru dikabarkan hilang dari RUU Sisdiknas yang sedang diajukan . Sebabnya, pasal Tunjangan Profesi Guru (TPG) dikabarkan hilang dari RUU Sisdiknas yang sedang diajukan masuk ke dalam prolegnas prioritas perubahan 2022 ke DPR RI. Padahal, selama ini TPG dianggap cukup membantu perekonomian para guru.
Hal ini Banyak menuai Polemik, bahkan sejumlah fraksi DPR mengaku menolak RUU Sisdiknas masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) perubahan di tahun 2022 yang mana seperti dikatakan di atas sebelumnya bahwa fraksi DPR menolak RUU Sisdiknas mengenai tunjangan guru atau tunjangan profesi guru. Selain itu RUU sisdiknas dinilai tidak menjawab berbagai permasalahan pendidikan, dikarenakan RUU itu menghapus pasal-pasal penting dalam tiga undang-undang lama terkait pendidikan, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.
Menurut Koordinator Nasional PPG, menuturkan hilangnya pasal TPG dalam RUU sisdiknas akan membuat jutaan guru dan keluarga kecewa. Ia menilai penghapusan pasal TPG ini akan menjadi mimpi buruk bagi guru, bahkan akan menghilangkan kesejahteraan guru secara perlahan. (Beritasatu.com).
Dari catatan Kritis RUU Sisdiknas dapat diambil kesimpulan bahwasanya RUU sisdiknas ini masih belum menjawab persoalan mendasar perihal kesejahteraan pendidikan di tanah air. Yaitu dengan proses SKS “Sistem Kebut Semalam” Serta minimnya partisipasi publik yang menjadikan UU ini serupa dengan UU cipta kerja yang semakin mengikis kesejahteraan warganya. Padahal sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya nasib anak bangsa berada di tangan pendidiknya. Jika pendidiknya tersibukkan dengan kerja sampingan untuk memenuhi ataupun menutupi kesulitan hidupnya, niscaya proses optimalisasi belajar mengajar akan sulit terpenuhi. Padahal, kesejahteraan guru akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Seperti yang kita tahu di tengah APBN yang terus mengalami defisit, pemerintah berupaya memangkas anggaran belanja negara. Tidak menutup kemungkinan itu pun terjadi pada sektor pendidikan, yang mana mereka sedang mengotak atik dana pensiun PNS yang dianggap membebani APBN. Begitupun hilangnya pasal tunjangan profesi guru ini, bukan mustahil untuk mengurangi anggaran. Selanjutnya, bukan hanya pasal TPG saja yang hilang, kepastian gaji honorer yang sudah lama diajukan pun tidak dicantumkan. Melihat itu semua pemerintah seperti tidak mau rugi dengan memberikan gaji yang memadai pada guru yang tulus mendidik Generasi.
Inilah jika kebijakan dikendalikan para korporasi, yang mana alokasi dana hanya diperuntukkan untuk kemaslahatan privatisasi yang bersifat politik oligarki. Saat infrastruktur untuk kepentingan pembesar dibangun secara megah, maka kita saksikan faktanya fasilitas sekolah (terutama di pedesaan) jauh dari kata sangat Layak. Terlebih lagi gaji gurunya tidak sepadan , fasilitas sekolahnya tidak memadai, kurikulum pun hanya berbasis keinginan sepihak dari korporasi zalim. yang jadi pertanyaannya bagaimana bisa terlahir generasi berkualitas yang dapat memajukan bangsa?
Maka dari itu, mustahil kesejahteraan guru akan tercapai saat ini jika aturannya masih aturan para koorporasi dan oligarki yang asasnya adalah manfaat. Maka sistem saat ini sangat berbanding jauh dengan sistem Islam yang sangat menjamin Kesejahteraan guru. Sebagaimana Islam memandang guru sebagai profesi yang mulia sehingga layak mendapatkan kesejahteraan dan apresiasi yang tinggi atas pengabdiannya. Sejarah mencatat bahwasanya pada masa Khalifah Umar Bin Khattab memberi upah pada guru sebanyak 15 dinar (1dinar = 4,25 gram emas) setiap bulannya, kurang lebih jika diakumulasikan dengan harga emas saat ini guru mendapat upah lebih dari Rp 60 juta perbulannya. Bahkan tidak memandang guru sebagai honorer ataupun pegawai negeri, di perkotaan ataupun pedesaan. Karena semua guru akan mendapatkan tugas yang sama yaitu mendidik generasi.
Maka jelaslah sistem pendidikan saat ini sangat jauh berbeda pada masa Islam menjadi super power dunia. Maka wajar peraturan atau pun kebijakan saat ini hanya menjadi kebijakan tambal sulam yang tidak tahu di mana ujungnya, sehingga mustahil adanya kesejahteraan bidang pendidikan khususnya kesejahteraan gurunya dan kualitas generasi bangsa. Maka jelas hanya Islamlah satu – satunya sistem yang akan menghapus semua permasalahan.
Wallahua’lam bishowab.
[LM]