Merindukan Kepemimpinan Syar’i
Oleh: Thyna
(The Voice of Muslimah Papua Barat)
Lensa Media News- Kaum Muslim semestinya bersuka cita menyambut bulan Ramadan. Dimana di dalam bulan ini Allah melipatgandakan pahala untuk seluruh amal kebaikan kita. Lalu Allah memberikan berbagai macam kemuliaan di setiap malamnya, terkhusus malam lailatul qadr.
Namun sayang, duka cita mendalam justru dirasakan oleh sebagian kaum muslim di belahan dunia berbeda. Seperti Palestina, Yaman, Uygur kaum muslim di sana tidak merasakan kemudahan dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadan selayaknya yang kita rasakan. Bahkan kita tidak tahu berapa banyak malam yang mereka lewati dengan perut kosong, ketakutan, dan kekhawatiran.
Meski banyak bantuan berupa bahan pangan, obat-obatan, dan buku yang diterima, namun bukan bantuan seperti ini yang sebenarnya mereka butuhkan. Mereka tidak membutuhkan kita bukan sebagai penopang atau penyuplai kebutuhan hidup mereka. Tetapi, saat ini mereka membutuhkan kita sebagai seorang saudara muslim yang berdiri tegak berjuang bersama mereka untuk melepaskan mereka dari belenggu musuh-musuh Islam.
Dari problem umat di atas, kita bisa melihat bagaimana kepemimpinan saat ini tidak mampu untuk memberikan solusi yang solutif. Malah semakin menjadikan masalah tersebut larut dan semakin rumit. Lantas dimana kita bisa merasakan kepemimpinan yang mampu menyelesaikan masalah ini?
Belajar dari Khalifah al-Mu’tasim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya.
Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah dengan lafadz yang legendaris: “ waa Mu’tashimaah!” yang juga berarti “di mana kau Mutashim…tolonglah aku!” Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.
Runtuhnya khilafah sebagai kepemimpinan syar’i tercatat dalam sejarah kaum muslim pada 28 Rajab 1324 H atau 3 Maret 1924 M. Penghapusan Khilafah dilakukan oleh Mustafa Kemal Attarturk. Pasca keruntuhannya Islam tidak lagi menjadi sistem kehidupan dan bermasyarakat. Beralih menggunakan sistem kapitalisme yang mana menjunjung tinggi nasionalisme yang berhasil menciptakan sekat antar negara dan meleyapkan rasa persaudaraan kita sesama muslim. Padahal Allah Swt., berfirman yang artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujarat: 10)
Peristiwa penindasan terhadap negara-negara Islam adalah bentuk kedzaliman. Apakah kita tidak rindu dengan kepemimpinan yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya? Sebab, hanya dengan kepemimpinan syar’i (khilafah) sekat-sekat nasionalisme yang memisahkan umat muslim akan lenyap. Dan saudara-saudara muslim kita terbeas dari ketertindasan dari musuh-musuh Islam.
Wallahu’alam bi shawab
[hw/LM]