Mengurai Benang Kusut Kemelut Natuna yang Berlarut

Oleh : Henyk Widaryanti

Lensa Media News – Ada gula ada semut. Peribahasa ini cocok untuk menggambarkan kondisi Natuna. Kepulauan di ujung barat utara perairan Indonesia ini ibarat gula, rasa manisnya menarik perhatian semut-semut di sekitarnya. Bertahun-tahun Natuna bergemuruh, bukannya tambah jernih malah semakin keruh. Tahun 2021 sebentar lagi berlalu, kira-kira ke mana Natuna akan mengadu?

 

Pesona Natuna

Siapa sangka, kumpulan pulau kecil di Laut Cina Selatan ini menyimpan kekayaan. Natuna ibarat magnet yang siap menggaet siapapun. Ada beberapa alasan yang membuat wilayah seluas 264.198,37 Km² ini menjadi incaran, di antaranya;

Pertama, Natuna berada pada jalur ring perdagangan dunia. Ada 1000 unit kapal lalu-lalang di wilayah ini. Kedua, wilayah kepulauan ini juga memiliki perikanan yang besar. Setiap tahun mampu menghasilkan 504.212,85 ton. Ketiga, potensi migas yang dimiliki juga cukup besar, yaitu 36 juta barel minyak dan 222 triliun kaki kubik (tcf). Keempat, di dasar laut ditemukan keramik yang berkualitas, yang dibuat sekitar 960-1279 Masehi. Harganya mahal (Sindonews, 6/12/21).

 

Konstelasi Natuna

Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982  (UNCLOS 1982), wilayah ujung selatan Laut Cina Selatan masuk dalam ring Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Oleh karena itu, pada tahun 2017 diberi nama Laut Natuna Utara. Di sisi lain, seorang Dosen Malaysia menyatakan, sejarah Natuna masih berhubungan dengan negara bagian Terengganu. Apalagi Kepulauan ini terletak di antara wilayah Malaysia (Pikiranrakyat, 6/11/21).

Klaim yang berbeda dikeluarkan pihak Cina. Mereka mengatakan bahwa perairan Natuna masih dalam wilayahnya. Alasannya berdasarkan aturan sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang diyakini negeri panda itu. Karena dasar ini lah, Cina sering membuat kisruh perairan Natuna.

Pada tahun 2016 konflik antara Cina dan Indonesia terjadi. Tidak berhenti di situ, tahun 2020 kemelut Laut Cina Selatan kembali bergulir. Hingga tahun 2021 pun sama, kedua negara saling klaim dan menganggap apa yang dilakukan itu benar. Masalah terus bertambah, terakhir kapal riset dan armada perang Cina lalu-lalang di perairan itu. Bahkan Cina juga meminta pemberhentian pengeboran kilang minyak di sana (Idntimes, 6/12/21).

 

Makan Buah Simalakama

Bagi negeri seribu pulau masalah Natuna ibarat makan buah simalakama. Satu sisi, Kepulauan itu menyimpan kekayaan alam yang masih perawan. Indonesia akan untung besar jika dapat memanfaatkannya. Namun, di sisi lain Cina adalah mitra dagang sekaligus investor besar bagi negeri ini. Kekuatan Indonesia tidak ada apa-apanya bila bersanding dengan Cina.

Barang-barang Cina sudah terlanjur membanjiri negeri ini. Perputaran ekonomi juga mayoritas dipengaruhi Cina, baik melalui barang dagangannya maupun pinjaman dan investasinya. Bisa dibayangkan, bagaimana jika Cina tiba-tiba melakukan embargo ekonomi? Negeri ini bakal “klepek-klepek”.

 

Tak Bergeming

Seperti yang kita lihat selama ini, meski Cina merupakan anggota Dewan Keamanan PBB, ia tak sedikitpun mematuhi hukum laut internasional. Hal ini mengisyaratkan jika Cina tak taat aturan. Negara itu memiliki ambisi kekuasaan yang besar untuk memenuhi kebutuhan industrinya. Dia akan melakukan berbagai cara untuk memenuhi keinginannya.

Sedangkan Indonesia, adalah negara luas tapi tak disegani negara di dunia. Negara yang memiliki politik luar negeri bebas aktif ini ternyata tak mampu menggerakkan negara ASEAN untuk melawan Cina. Padahal, jikalau mereka bersatu, kekuatannya cukup dapat menggetarkan negara tirai bambu itu.

 

Bersikap Tegas

Jalan satu-satunya yang dapat dilakukan untuk membendung manufer Cina adalah bersikap tegas. Negara harus memiliki sikap serta dapat membedakan mana teman dan lawan. Sikap Cina atas perairan Natuna jelas menyalahi kesepakatan wilayah. Di samping itu Cina termasuk negara yang telah menganiaya saudara muslim di Uighur. Sedangkan negeri seribu pulau ini adalah wilayah yang memiliki penduduk mayoritas muslim. Sebagai seorang muslim, seharusnya bersikap tegas dengan negara yang menganiaya saudara seiman.

Islam sendiri memiliki politik luar negeri yang khas. Negara yang berlandaskan Islam akan menjalankan hubungan dengan negara lain sesuai hukum syara. Negara Islam dilarang melakukan hubungan diplomatik apapun termasuk ekonomi dengan negara kafir yang memusuhi Islam. Namun, jika negara kafir itu tidak memusuhi, boleh melakukan hubungan diplomatik sesuai perjanjian.

Cina adalah salah satu negara yang jelas menganiaya saudara muslim di Uighur. Oleh karena itu, negara seribu pulau ini seyogianya bersikap tegas dan tidak menjalin hubungan apapun. Sayangnya, sikap ini tidak akan dilakukan kecuali negara berani mengambil Islam. Menjadikan keimanan sebagai dasar melakukan hubungan luar negeri.

Jika hal itu terjadi, maka Natuna akan aman berlabuh dalam pelukan negara Islam. Sebuah negara yang akan menerima aduan dari wilayah manapun yang mengalami serangan atau ingin direbut asing. Sebagaimana yang dilakukan khilafah selama 13 Abad.

 

[el/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis