Oleh: Kartiara Rizkina M S. Sosio

(Aktivis Muslimah Aceh)

 

Lensa Media News – Rencana pemerintah menaikkan tarif listrik tahun 2022 adalah hadiah tahun baru. Sebab akan mengagetkan masyarakat dan pihak-pihak industri di tambah lagi situasi pandemi yang tidak tau kapan akan berakhir. Seperti yang di sampaikan oleh Direktur Jenderal Ketenaga Listrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana,
” Rencana tarif listrik bagi golongan pelanggan non-subsidi bisa berfluktuasi alias naik atau turun setiap 3 bulan disesuaikan dengan setidaknya tiga faktor, yakni nilai tukar mata uang, harga minyak mentah dunia, dan inflasi,” katanya dikutip (Antara, 1/12/2021).

Di kutip dari Banjarmasinpost.co.id ada 13 golongan pelanggan non subsidi PLNP yang nantinya akan dinaikkan, berdasarkan data Kementerian ESDM, di antaranya: pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA, 2.200 VA, 3.500 sd 5.500 VA, 6.600 VA ke atas; pelanggan bisnis dengan daya 6.600 sd 200 kVA; pelanggan pemerintah dengan daya 6.600 sd 200 kVA; penerangan jalan umum; pelanggan rumah tangga daya 900 VA rumah tangga mampu (RTM); pelanggan pelanggan bisnis daya >200 kV, pelanggan industri >200 kVA, pelanggan pemerintah dengan daya >200 kVA, layanan khusus, tarifnya Rp 1.644,52 per kWh dan industri daya >30.000 kVA.

Naiknya tarif listrik akan berdampak bagi rakyat, seperti naiknya produksi industri, naiknya harga makanan pokok, berkurangnya daya beli konsumen dan bertambahnya pengeluaran rumah tangga. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo mengungkapkan, kenaikan tarif listrik akan membawa dua dampak bagi para pengguna rumah tangga. Dampak langsung menurutnya, akan dirasakan oleh rumah tangga R1 yaitu pengguna daya 1.300 VA.

Sementara, dampak tak langsung yang dirasakan oleh rumah tangga yang memakai daya 900 VA. Rumah tangga ini akan merasakan dampak kenaikan harga barang karena biaya produksi ikut meningkat. “Meski mereka tidak membayar listrik lebih mahal namun pengeluaran mereka juga meningkat karena harga barang di pasaran ikut naik,” papar Sudaryatmo (Republika.co.id,14/7/2021).

Namun, ibarat buah simalakama, pemerintah menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah yang baru. Yang pasti kenaikan TDL ini akan menyebabkan efek domino. Akan diawali dengan kenaikan harga bahan baku, bahkan saat ini pun sudah mulai terasa, kemudian biaya proses produksi, hingga berkurangnya daya beli konsumen. Para produsen dengan alasan kenaikan bahan baku dapat menaikan harga jual produk. Dan akhirnya pasti akan menyebabkan multiplier efect yang bermuara pada kenaikkan harga dan penurunan daya beli. Kebijakan ini akan berujung pada penurunan produksi yang berdampak pada pemutusan hubungan karyawan/pengangguran.

Perekonomian Indonesia di bawah tata kelola ekonomi neoliberal, yang mengikuti kebijakan Kebijakan Washington Consensus (WC) menjadi wadah terlahirnya sistem ekonomi neoliberalisme. Yakni izin dan kebijakan WC adalah deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Dari sanalah upaya privatisasi terus terjadi di segala sektor, termasuk kelistrikan. Pemerintah melalui PLN sebagai BUMN, yang harusnya bertanggung jawab, hanyalah sebagai regulator saja. Bahkan pemerintah tak elaknya penjual layanan energi, yang sebenarnya milik rakyat kepada rakyatnya sendiri.

Selain itu tata kelola ekonomi neoliberal mendudukkan kegiatan ekonomi pada mekanisme pasar bebas sehingga campur tangan pemerintah dalam mengatur perekonomian harus hilang. Sementara itu, Islam memandang listrik sebagai harta kepemilikan umum yakni terkategori energi api, yang wajib dikuasai dan dikelola secara mandiri oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Karena, Listrik merupakan kebutuhan pokok rakyat dan merupakan bentuk pelayanan masyarakat yang wajib dilakukan negara. Oleh karena itu, negara tidak boleh menyerahkan penguasaan dan pengelolaan listrik kepada swasta atau privatisasi.

Berkaitan dengan ini Rasulullah saw bersabda:
Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Daud)

Namun, tata kelola ini tidak bisa kita serahkan pada kepemimpinan kapitalis-sekuler, dengan neoliberal-nya. Terbukti, bahwasanya kapitalis-sekuler gagal memberikan pelayanan termasuk di dalamnya kelistrikan secara mandiri dan menyeluruh. Hendaknya umat Islam pun harus segera menyadari bahwa sudah saatnya kita gencar menawarkan sistem alternatif di tengah kuatnya arus sistem kapitalis-sekuler yang perlahan-lahan akan runtuh, yaitu sistem pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan yang dijalankan pada landasan yang dijamin kebenarannya dan kekuatannya, yaitu berdasar pada Alquran dan hadis. Sistem yang akan mampu menyejahterakan umat secara menyeluruh, baik yang muslim maupun yang non-muslim.

Wallahu a’lam bi showab.

 

[hw/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis