Uji Nyali Negara Memberantas Mafia Tanah
Oleh: Anita NurOktavianty,S.Si
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Lensa Media News – Kasus artis Nirina Zubir dan keluarganya yang merasa dirugikan oleh mafia tanah sempat mengemuka beberapa bulan terakhir. Kerugian yang ditanggung hingga mencapai 17 miliar rupiah tersebut ternyata melibatkan dua orang tersangka yang berprofesi sebagai notaris PPAT.
Maraknya kasus mafia tanah di negeri ini ternyata didukung pula oleh oknum-oknum pegawai pemerintahan. Berdasarkan pernyataan resmi dari Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil, Senin (13/12/2021) bahwa terdapat 125 pegawai kementerian yang terlibat dalam kasus mafia tanah sejak ia menjabat sebagai menteri ATR 2016. Meski ratusan pegawai itu telah diberikan sanksi tegas diantaranya dipecat dengan tidak hormat, dimutasi, hingga dipolisikan, namun tidak menjadikan kasus mafia tanah ini berhenti. Hingga November kemarin, 61 tersangka mafia tanah diciduk sepanjang 2021, dan yang lainnya masih buron.
Adapun modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku mafia tanah ada beragam cara di antaranya adalah pemalsuan dokumen, rekayasa perkara, mencari legalitas di pengadilan melalui praktek kolusi dengan aparat penegak hukum, dan sebagainya.
Kapitalisme Menyuburkan Mafia Tanah
Penguasaan tanah secara illegal hingga melibatkan oknum di jajaran pemerintahan tentulah sangat merugikan masyarakat. Siapa pun tidak akan rela jika tanah yang menjadi tempat menjalani kehidupan baik sendiri maupun bersama keluarga bertahun-tahun, seketika bias beralih tangan ke pihak lain. Apalagi dengan menempuh cara-cara yang ilegal. Namun hal tersebut tidaklah mengherankan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang berkuasa saat ini.
Sistem ekonomi kapitalisme yang berkiblat ke barat pada dasarnya tidak didesain untuk membela kepentingan seluruh umat manusia melainkan hanya segelintir orang pemilik modal dan kekuasaan. Keinginan menguasai yang begitu besar terutama terhadap tanah yang bernilai ekonomis yang tinggi menjadi faktor utama terbukanya peluang untuk melakukan praktek ilegal demi meraih keuntungan yang besar. Karena dalam sistem tersebut memang tidak dilarang menguasai tanah seluas apapun selama memiliki modal yang besar.
Maka tidak heran jika 59 persen lahan yang ada di Indonesia berada dalam kekuasaan 1 persen penduduk. Adapun 99 persen penduduk lainnya memperebutkan 41 persen lahan yang tersisa. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam acara ‘Kongres Ekonomi Umat Ke-2 MUI tahun 2021 di Jakarta (10/12/2021). Sungguh kondisi yang mengkhawatirkan.
Kepemilikan Tanah dalam Islam
Berbeda halnya dengan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi Islam memberikan batasan yang jelas terkait kepemilikan harta yang terbagi atas tiga golongan. Pertama, harta milik individu. Kedua, harta milik umum. Ketiga, harta milik negara. Syariatlah yang menjadi patokan bukan kepentingan individu atau pun golongan.
Terkait tanah yang menjadi milik individu, maka kewajiban bagi pemiliknya untuk mengelolanya sehingga tanah tersebut produktif. Negara bias membantu dalam hal penyediaan modal maupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Namun jika pemilik tanah tidak mampu mengolahnya, maka diperintahkan untuk diberikan secara cuma-Cuma kepada orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Barang siapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya ,atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari)
Adapun kepemilikan tanah bisa hilang secara otomatis apabila selama tiga tahun ditelantarkan. Negara akan mengambil alihnya dan diberikan kepada orang lain yang lebih mampu.Jadi esensi pemanfaatan tanah dalam Islam menitikberatkan pada produktivitas bukan hanya kepemilikan semata hingga tidak dibenarkan ada tanah yang terlantar.
Mengenai tanah yang luas dan terkandung di dalamnya sumber kekayaan alam yang melimpah, maka tidak dibenarkan oleh syariat dimiliki oleh individu. Tanah tersebut masuk dalam kategori harta milk umum. Kaum muslimin berserikat di dalamnya untuk memperoleh manfaat dari harta tersebut. Negara diberi wewenang oleh syariat untuk mengolahnya agar bias dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh warga masyarakat. Sehingga upaya-upaya privatisasi/swastanisasi jenis harta milik umum tersebut diharamkan dalam Islam. Pelakunya akan diberi sanksi tegas, dan kepemilikannya dianggap batil/tidak sah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka beliau menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal. (HR Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa tanah yang memiliki kekayaan alam yang besar secara otomatis menjadi milk umum yang dikelola oleh negara.
Dengan demikian upaya pemberantasan mafia tanah jika hanya menitikberatkan pada upaya penindakan yang tegas secara hukum namun tidak menyentuh ke akar masalahnya yaitu penerapan sistem ekonomi kapitalisme akan menjadi sia-sia. Di sinilah diuji nyalinya, apakah siap untuk mengganti sistem ekonomi kapitalisme dengan menerapkan syariat Islam atau tidak?
[iui/LM]