Utang Semakin Membentang, Padahal Tahun Baru Segera Datang
Oleh : Henyk Widaryanti
Lensa Media News – Hidup kalau tidak utang rasanya kurang menantang. Begitulah prinsip mayoritas orang zaman sekarang. Apapun dilakukan demi memenuhi ambisi jalang, walaupun harus terlibat transaksi terlarang. Dari rumah tangga keluarga hingga negara mengambil sangkutan. Mereka menganggap pinjaman adalah solusi terbaik dalam mendapatkan uang. Tahun baru segera datang, tapi mengapa utang masih membentang?
Tak Habis
“Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit”. Peribahasa yang cocok untuk hal ini. Bagaimana tidak? Negara yang katanya kaya raya ini ternyata memiliki utang yang besar. Pada akhir Oktober 2021 utang negeri ini mencapai Rp6.711,52 triliun. Padahal setahun yang lalu pada periode yang sama sebanyak Rp5.877,71 triliun. Kenaikan yang terjadi cukup besar, yakni Rp809,57 triliun (Cnbcindonesia, 31/11/21).
Jumlah utang akan terus naik seiring bertambahnya waktu. Pasalnya untuk menutup utang, negara sering memakai cara gali lubang tutup lubang. Selain itu juga menggunakan riba, alhasil utang semakin banyak. Artinya, negara membutuhkan uang lebih besar lagi untuk membayar sangkutan.
Akan tetapi, dapat melunasi pinjaman itu ibarat pungguk merindukan bulan. Saat ini, anggaran negara banyak dipakai membayar bunga utang. Sedangkan pendapatan negara hanya dari pajak, mustahil melunasinya.
Jebakan Kapitalisme
Jeratan utang telah merantai berbagai negara, mereka terpaksa menjual aset-asetnya untuk membayar utang. Seperti yang dialami Sri Lanka yang merelakan bandara dan pelabuhan pada Cina karena gagal bayar utang. Zimbabwe yang iklhas mengganti mata uangnya demi penghapusan utang kepada negeri Panda. Begitupun Nigeria yang harus menerima syarat mempekerjakan orang-orang negeri kungfu agar mendapat utang.
Peristiwa jebakan utang yang saat ini melanda negara-negara berkembang, bisa saja terjadi pada Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, negeri seribu pulau ini memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Namun, kebanyakan SDA itu dikelola oleh asing. Bisa jadi penguasaan kekayaan alam tersebut adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan utang. Selain itu, ada juga kebijakan yang cenderung memihak para kapital. Tidak menutup kemungkinan jika aturan itu dibuat berdasarkan perjanjian.
Membebaskan Diri dari Utang
Selama negara ini masih menjadikan aturan manusia sebagai landasan kebijakan, dapat dipastikan, negara akan gagal melunasi sangkutannya. Selain itu, negara tetap berada pada genggaman mereka. Indonesia akan dipaksa mengikuti segala keinginan dan tak lagi memiliki kedaulatannya. Oleh karena itu, jalan satu-satunya mengembalikan kebebasan adalah menghapus utang ribawi dari pengelolaan keuangan negara.
Islam adalah sistem kehidupan yang dapat menyelesaikan masalah ini. Dalam sistem keuangan Islam, utang bukanlah sumber pendapatan negara. Di sisi lain, agama yang dibawa Rasulullah saw. ini juga mengharamkan riba. Jadi, Islam tidak akan mengambil utang riba sebagai pendanaan negara. Prinsip ini sesuai dengan perintah Allah Swt.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan bagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 278-280).
Mengoptimalkan Sumber Pendapatan Bukan Utang
Sumber pendapatan utama negara dalam Islam ada beberapa macam, yakni jizyah, fa’i, kharaj, ghanimah, harta tak bertuan, hasil pengelolaan SDA, dll. Islam akan mengutamakan pendapatan tersebut untuk mengurusi rakyatnya. Jika dalam sistem saat ini SDA boleh dikelola asing dan swasta, maka Islam mengharamkan hal itu. Sehingga negara akan mengambil alih pengelolaannya dan akan menggunakannya untuk kebutuhan rakyat, baik sandang; pangan; papan; keamanan; kesehatan maupun pendidikan.
Bagaimana jika kas negara kosong? Negara Islam tidak akan langsung mengambil utang. Negara akan menarik dharabah dari kaum muslim yang memiliki kelebihan kekayaan. Harta yang ditarik sebesar kebutuhan dan ketika sudah terpenuhi seluruhnya akan dihentikan. Jadi, negara tidak perlu meminjam dari pihak swasta atau asing. Dengan demikian kedaulatan akan tetap terjaga dan tidak mudah disetir oleh negara lain.
Sayangnya, sistem keuangan seperti ini tidak bisa berjalan tanpa dukungan sistem lainnya. Oleh karena itu, diperlukan sistem Islam yang komprehensif, meliputi sistem pemerintahan Islam; sistem ekonomi Islam; sistem pendidikan Islam; hingga sistem sanksi Islam. Semua aturan itu hanya dapat berjalan jika negara mengambil Islam sebagai landasannya. Maka dari itu, jika menginginkan utang tak lagi membentang dan negara memiliki kedaulatan, hanya Islam solusi paripurna.
[el/LM]