Negara Terlilit Utang, Penguasa Anggap Baik-Baik Saja
Oleh: Alfiana Prima Rahardjo, S.P.
Lensa Media News – Dikit-dikit utang, dikit-dikit utang. Itulah gambaran solusi perekonomian negeri ini. Alih-alih ingin meningkatkan perekonomian, justru selalu tergantung dengan utang. Seolah setiap muncul persoalan ekonomi negara selalu ujung-ujungnya diselesaikan dengan utang. Utang pun menumpuk. Tapi tak membuat pemerintah jera. Bahkan menganggap kondisi baik-baik saja.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai US$ 423,1 miliar, atau meningkat 3,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), pada akhir kuartal III 2021. Itu artinya, posisi tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 2 persen (yoy),(bisnis.tempo.co.id, 17/11/2021).
Alhasil, alokasi APBN banyak tersedot untuk sektor utang. APBN diambil untuk pembayaran cicilan utang beserta bunga dalam jumlah besar. Dan hal itu berimbas pada rakyat. Pemenuhan kesejahteraan rakyat pun diabaikan.
Diperparah lagi, di balik kesepakatan pemberian ULN, ada udang di balik batu. Dalam kesepakatannya, sejumlah persyaratan yang diberikan pihak pemberi utang bisa merugikan negeri ini. Adanya campur tangan mereka dalam pengambilan kebijakan dalam negeri.
Tak ada makan siang gratis. Itulah yang berlaku bila Indonesia berutang dengan pihak luar negeri. Pihak luar negeri pastinya menginginkan sesuatu yang menguntungkan dibalik itu semua. Apalagi Indonesia merupakan negeri dengan kekayaan sumber daya alam yang tak bisa dipandang remeh.
Ketergantungan utang kepada luar negeri bisa melemahkan kedaulatan negara. Negara tak bisa mengambil kebijakan-kebijakan secara mandiri. Ditambah pula cicilan bunga yang semakin mempersulit posisi negara dalam menyelesaikan utang.
Tak semestinya, menggeliatkan perekonomian negara dengan bergantung pada ULN. Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar, bila dikelola negara secara tepat tanpa campur tangan pihak korporasi maupun luar negeri, maka negara tak perlu berutang.
Selain itu, berutang dengan disertai bunga pun bisa menjadikan negeri ini tidak berkah. Dikarenakan Allah sangat membenci adanya bunga dalam utang. Dalam surat Al Baqarah: 275
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
Tiada harapan untuk tetap mempertahankan kondisi ekonomi dengan tergantung pada ULN. Ketergantungan terhadap utang sejatinya merupakan bagian dari penerapan ekonomi kapitalis yang masih saja digunakan di negeri ini.
Dengan mengubah sistem kapitalis menjadi sistem ekonomi yang lebih tepat dan berdaulat sangat penting sebagai solusi untuk permasalahan ekonomi negara. Yakni dengan sistem ekonomi Islam.
Di dalam sistem ekonomi Islam, negara tidak boleh tergantung pada ULN. Negara lebih fokus dalam mengolah sumber kekayaan negeri secara merdeka tanpa intervensi luar negeri. Dan hasil pengelolaannya demi kesejahteraan rakyat. Sistem ekonomi Islam pun melarang utang yang disertai bunga.
Bila sistem ekonomi Islam diterapkan di negeri ini, maka tak perlu tergantung lagi dengan luar negeri. Kedaulatan negara pun semakin kuat dan menjadi negeri yang disegani negara lain sehingga tidak ada lagi penjajahan ekonomi di negeri ini.
[LM]