Lunaknya Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual
Oleh: Wiji Lestari
Lensa Media News – Kabar bahagia datang dari artis Saipul Jamil, beberapa hari yang lalu telah dinyatakan bebas dari jerat hukum yang diterima. Kini Ia sudah bebas menghirup udara segar dan siap untuk terjun kembali di dunia hiburan. Berbagai tawaran job datang membanjiri, mulai dari on air ataupun off air. Bebasnya Saipul Jamil dari balik jeruji besi begitu disambut antusias oleh penggemarnya. Seolah-olah bagaikan pahlawan. Berjejer orang melambaikan tangan di tepi jalan saat Saipul Jamil melintasi bersama rombongan. Tak sabar bagi penggemarnya untuk dapat melihat idolanya kembali muncul di layar kaca.
Namun sayangnya, kebebasan yang diperoleh Saipul Jamil menuai banyak pro-kontra di kalangan masyarakat. Pasalnya masyarakat sangat menyayangkan mengapa bisa sosok pelaku kekerasan seksual masih bisa tampil di layar kaca? Belum lepas dari ingatan kita bahwa jeratan hukum yang menimpa Saipul Jamil lantaran diduga adanya pelecehan seksual yang Ia lakukan. Tentu hal ini akan menggangu psikologi korban. Sulit untuk menyembuhkan luka dan rasa trauma yang masih ada dalam bayangannya. Sebab ketika tawaran job sudah membanjiri maka jam terbang pun akan banyak.
Seksolog Zoya Amirin menjadi salah satu pihak yang menentang keras kembalinya Saipul Jamil ke TV usai bebas dari penjara. Dalam salah satu unggahannya. Munculnya Saipul Jamil di layar kaca sontak membuat netizen beramai-ramai ikut serta dalam gerakan boikot yang ditujukan kepada Saipul Jamil untuk melarang tampil di TV nasional. Hal ini juga membuat netizen bertanya-tanya mengapa bisa KPI memberikan peluang kembalinya pelaku seksual tampil di TV Nasional. (riau.com, 02/09/2021)
KPI yang memiliki wewenang untuk menghentikan suatu acara, dinilai masyarakat juga lemah keberadaannya. Tidak adanya ketegasan inilah yang membuat masyarakat geram, sehingga kembali mempertanyakan perihal ketegasan lembaga ini. Masyarakat menilai lembaga ini menjadi lunak terhadap pelaku kekerasan seksual. Hal ini berbanding terbalik dengan kampanye nasional anti kekerasan seksual. Bukti lemahnya lembaga ini, yakni masih bisa tampilnya pelaku kekerasan seksual di acara TV Nasional.
Kasus pelecehan seksual juga menimpa pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Seorang pria yang mengaku sebagai pegawai KPI Pusat mengaku sebagai korban perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh tujuh pegawai di Kantor KPI Pusat selama periode 2011-2020. Polisi yang menerima laporan meminta korban menyelesaikan masalah itu di internal kantor. Aduan terbuka yang dibuat oleh korban, KPI Pusat menyampaikan pihaknya tidak akan menoleransi segala bentuk pelecehan seksual dan perundungan dalam bentuk apapun.(republika.co.id, 02/09/2021)
Begitulah segelintir kasus pelecehan kekerasan seksual di negeri ini. Hukum yang ada tak membuat efek jera bagi para pelaku. Rasa trauma dan goncangan psikologi pun tak dapat disembuhkan secara singkat. Hukuman yang diberikan juga masih terkategori ringan, misalnya seperti kasus Saipul Jamil yang hanya dijatuhi hukuman kurungan penjara selama 5 tahun. Hukuman ini hanya sebatas fisik saja tak dapat membuat efek jera.
Indonesia sebagai negara hukum tak menunjukkan ketegasan dalam menjatuhi vonis hukuman. Hukum buatan manusia tak pernah dapat menuntaskan permasalahan yang ada, sebab hukum yang ada tak memberi efek jera. Sistem yang ada saat ini yakni sistem kapitalisme-sekularisme nyatanya justru menyuburkan para pelaku pelecehan seksual. Sebab hukuman yang diberikan bukan hukuman yang bersifat mencegah atau sebagai peringatan. Sistem inilah yang membuat hukum agama lebih rendah daripada aturan yang dibuat manusia. Undang-undang yang ada dapat direvisi sewaktu-waktu jika hal ini terindikasi merugikan satu pihak. Pasal demi pasal hukum yang ada dapat diperjual belikan atau dipotong sesuai ketentuan yang ada. Sudah selayaknya sistem yang ada hendaknya digantikan dengan sistem yang dapat memutus rantai suatu kejahatan.
Hukum buatan manusia harus segera dihapuskan, sebab akan memberi peluang terulangnya kasus serupa dengan kondisi yang berbeda. Berbeda dengan hukum yang berasal dari Sang Pencipta ini bersifat mencegah dan sebagai penebus kesalahan. Misalnya hukuman terhadap pelaku zina saja sudah berbeda antara single dengan yang sudah berstatus keluarga. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku zina yang belum ada ikatan penikahan dicambuk sebanyak 100 kali, sedangkan untuk pelaku zina yang sudah jelas memiliki ikatan pernikahan maka akan dihukum dengan hukum rajam.
Tentunya hukum ini dapat diterapkan manakala sistem yang ada saat ini bukan sistem kapitalisme melainkan Sistem Islam. Sistem Islam hanya dapat diterapkan dalam bingkai daulah Islam yakni khilafah ala minhajin nubuwwah. Maka dari itu marilah bersama-sama untuk berjuang kembali menegakkan aturan Allah agar segala kezaliman dapat dimusnahkan.
[ra/LM]