Liberalisasi Pendidikan dalam Kebijakan Kampus Merdeka

Oleh: Nena Fatimah

 

Lensa Media News – Di tengah pandemi Covid-19 yang belum selesai, menuntut ilmu tentunya tak boleh absen. Perguruan Tinggi yang menjadi tempat untuk mencetak para intelektual muda dituntut untuk beradaptasi dan memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.

Berbagai macam kebijakan di Perguruan Tinggi pun telah diujicobakan, salah satu yang menjadi terobosan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim kali ini adalah kebijakan Kampus Merdeka yang merupakan lanjutan dari konsep Merdeka Belajar. Tujuan dari program ini adalah membuka kesempatan bagi mahasiswa agar lebih mudah terjun di dunia kerja.

Sebelumnya, Kemendikbud telah menjelaskan terkait kebijakan Kampus Merdeka ini yakni sebagai berikut: Pertama, memudahkan Perguruan Tinggi membuka program studi baru. Kedua, perubahan sistem akreditasi. Jika sebelumnya harus 5 tahun sekali dengan antrean yang panjang, kini minimal 2 tahun sudah bisa mengajukan akreditasi ulang. Ketiga, memudahkan status kampus menjadi badan hukum. Jika dulu harus PTN yang terakreditasi A yang bisa berbadan hukum, Kini semua kampus negeri dan swasta dengan akreditasi A atau B pun bisa. Keempat, mahasiswa boleh belajar tiga semester di luar prodinya. Artinya, mahasiswa dibolehkan mengambil mata kuliah di luar mata kuliah prodi. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk magang, penelitian, proyek kemanusiaan ataupun wirausaha.

Sekilas, memang terlihat kebijakan ini mempermudah mahasiswa maupun institusi kampus sendiri. Namun, kita tidak bisa menafikan ada unsur kepentingan lain dibelakangnya, terlebih lagi kebijakan ini memang berkaitan erat dengan pihak korporasi. Bahkan lebih dari 300 perusahaan yang telah bekerjasama dalam kebijakan kampus merdeka ini, mulai dari perusahaan kecil sampai perusahaan raksasa di tanah air. (dikti.kemdikbud.go.id)

Fakta di atas setidaknya menjelaskan bahwa arah dan tujuan pendidikan kita saat ini membuka jalan lebar bagi korporasi untuk mengambil banyak keuntungan. Kampus bisa disetir untuk bisa memenuhi apa yang diinginkan korporasi. Penentuan kurikulum misalnya, kampus bisa bebas menentukan kurikulum bersama industri dan asing. Begitupula dengan SKS yang ditempuh dengan kuliah dan magang di industri, yang menjadikan mahasiswa hanya berorientasi pada kebutuhan industri saja, tidak lagi menjadi harapan generasi yang membangun bangsa dengan kecerdasan intelektualnya.

Akhirnya mental para mahasiswa hanya mental pekerja saja, disibukan dengan tujuan duniawi semata dan lupa akan kewajiban yang lain.

Bukan hanya mahasiswa, dosen yang merupakan tenaga pendidik pun disibukan dengan tuntutan akreditasi dan peringkat kampus yang tak berkesudahan, hingga akhirnya terabaikan perannya dari mendidik para cendikiawan yang harusnya berkontribusi bagi umat dan negara. Maka sempurnalah kerusakan masuk dalam pendidikan kita saat ini.

Hal ini menunjukan bahwa negara abai dalam perannya mengurusi pendidikan saat ini. Pendidikan yang semestinya menjadi tanggung jawab penuh negara, diserahkan pada pihak lain agar ikut ambil bagian. Negara berlepas tangan yang akhirnya masuk liberalisasi di kalangan kampus.

Sesungguhnya kebangkitan peradaban manusia tidak bergantung pada kemajuan IPTEK, namun kualitas dari generasinya. Jika generasi penerusnya sudah tercemari paham liberal, mau sebanyak apapun lulusannya, tak akan membawa perbaikan.

Hal ini berbeda jauh dengan bagaimana Islam memandang terkait pendidikan dan kebangkitan generasi. Dalam Islam yang sempurna ini, negara lah yang harusnya bertanggung jawab besar untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi umat.

Pendidikan yang diberikan pun, bukanlah pendidikan yang mengarah pada materi saja seperti hari ini, akan tetapi pendidikan yang mengarah pada pembentukan pribadi muslim yang terbaik, yang tidak hanya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun lebih dasar dari itu adalah menjadikan umat sebagai orang-orang yang bertakwa kepada pencipta manusia, Allah SWT.

 

[ra/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis