Menyoal Penghapusan Angka Kematian dari Indikator Evaluasi PPKM
Oleh: Ninik Rahayu
(Aktivis Malang Raya)
Lensa Media News – Belum usai penerapan PPKM berlevel, masyarakat kembali dikejutkan dengan pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Dia mengungkapkan, pemerintah akan mengeluarkan atau menghapus angka kematian dari indikator penanganan Covid-19, dikarenakan adanya masalah distorsi dalam input data.
Banyak pihak menyesalkan tindakan pemerintah ini. Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon menilai data kematian Covid-19 bukan sekadar angka. Fadli menegaskan bahwa data kematian yang tidak akurat seharusnya diperbaiki, bukan justru dihapus dari indikator penanganan Covid-19. Bahkan menurut dokter Tifauzia Tyassuma, jika pemerintah menghapus angka kematian, kita akan kehilangan kompas terpenting untuk dapat membuat strategi yang akurat guna menghentikan pandemi ini.
Tren Kenaikan Kasus Covid-19
Pada Januari-Agustus 2021, terjadi tren kenaikan kasus positif maupun angka kematian Covid-19 di Indonesia. Pada akhir bulan Januari 2021 terdapat 1.078.314 kasus dengan angka kematian sebanyak 29.998. Sedangkan per tanggal 11 Agustus tercatat sudah ada 3.750.000 kasus dan 112.000 kematian. Penambahan kematian rata-rata 1.500 kematian per hari. Indonesia pun dinobatkan sebagai negara dengan jumlah kematian Covid-19 tertinggi di dunia.
Tren kenaikan kasus ini seharusnya mendorong pemerintah mengevaluasi efektifitas PPKM yang selama ini dijalankan. Namun pemerintah justru menghapus salah satu indikator terpenting dalam penanganan pandemi, yaitu angka kematian.
Sikap pemerintah tersebut menunjukkan adanya sindrom Cinderella kompleks, yaitu rasa kurang percaya diri pada apa yang dimiliki. Negeri ini kurang percaya diri untuk mengakui telah menjadi episentrum baru penyebaran Covid-19, dengan angka kematian tertinggi di dunia mengalahkan India dan Brazil. Maka fakta ini berusaha ditutupi pemerintah, salah satunya dengan upaya menghapus angka kematian.
Terlepas dari sindrom tersebut, akan ada banyak mudharat dengan penghapusan angka kematian Covid-19. Pertama, negara menipu dirinya sendiri dengan menganggap pandemi telah terkendali. Seolah-olah semua aman dan penangganan pandemi telah berhasil, padahal sebaliknya.
Kedua, masyarakat akan semakin abai terhadap protokol kesehatan. Saat ini saja, masih banyak masyarakat yang tidak taat prokes. Bagaimana jika masyarakat berasumsi bahwa pandemi sudah terkendali? Tentu akan sangat membahayakan nyawa rakyat sendiri. Tidak terbayangkan jika harus lebih banyak lagi yang bergelimpangan menjadi korban keganasan Covid-19.
Ketiga, ketika negara sudah tidak bertekad mengakhiri pandemi, ditambah masyarakat yang abai prokes, bisa dipastikan pandemi Covid-19 tidak akan menemui ujungnya. Justru akan memicu mutasi virus Covid-19 yang lebih mematikan. Yang terancam tidak lagi nyawa rakyat, namun juga bangsa dan negara.
Rakyat Butuh Negara yang Mengurus
Relasi yang dibentuk antara negara dengan rakyat adalah relasi penjagaan serta pengurusan kebutuhan mendasar rakyat, mulai sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Negara wajib menjamin kebutuhan tersebut secara memadai dengan akses yang mudah bahkan gratis.
Sayangnya, relasi semacam ini tidak dapat kita jumpai dalam alam kapitalisme seperti saat ini. Dalam kapitalisme, negara hanya sebagai umpire alias wasit yang bertugas memandu jalannya kehidupan bermasyarakat, tanpa berkewajiban menjamin seluruh kebutuhan rakyat. Wasit hanya meniup peluit ketika terjadi pelanggaran tanpa membantu menyelesaikan setiap permasalahan rakyat. Sungguh negara seperti ini bukanlah model negara yang layak untuk hidup sejahtera.
Negara yang mampu mewujudkan model kepemimpinan yang ideal ini adalah negara yang berbasis penghambaan terhadap Sang Pencipta. Negara yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah besar untuk membuat rakyat sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat. Negara yang menjadi penerus pengurusan hajat rakyat selepas Rasulullah SAW wafat, yang berbasis akidah Islam dan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Itulah negara Islam, atau bisa disebut khilafah atau daulah.
Pemimpin dalam negara Islam adalah pemimpin yang shalih serta mumpuni dalam mengurus urusan rakyat. Mereka mengabdi tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada Allah SWT. Pemimpin Islam memiliki akidah Islam yang lurus, yang tidak akan pernah mempermainkan data apalagi meremehkan nyawa manusia.
Nyawa manusia dalam Islam sangat berharga, yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan di akhirat, bukan hanya deretan angka. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al Maidah: 32).
Sungguh rakyat sangat mendambakan hadirnya negara dan pemimpin yang mengurus sepenuh hati sebagai bentuk tanggung jawab mereka kepada Allah SWT, bukan pemimpin yang menjadikan singgasananya sebagai alat untuk mempermainkan nyawa manusia.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]