Skenario di Balik Mesranya Hubungan Indonesia-Cina
Oleh: Yuke Octavianty
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Lensa Media News – Kerjasama Indonesia dan Cina kian membara. Terlebih di masa pandemi yang terjadi saat ini. Penelitian dan pengadaan vaksin Covid-19 adalah salah satu kerjasama yang hingga kini terjalin (Voaindonesia.com, 21/04/2021). Dua jenis vaksin “milik Cina” yang diizinkan penggunannya di Indonesia antara lain, Sinovac dan Sinopharm (Bbcindonesia.com, 08/05/2021).
Selain di bidang kesehatan, kerjasama pun terjalin pada pembangunan infrastruktur negara, salah satunya yaitu mega proyek OBOR (One Belt One Road) atau kini dikenal dengan BRI (Belt and Road Initiative). Proyek ambisius Cina yang ditujukan untuk meningkatkan konektivitas dan kerjasama antar negara terutama antara Cina dan negara-negara Euro Asia melalui jalur darat dan laut. Meliputi pembangunan rel kereta api, jalan raya, dan proyek infrastruktur laut hingga membentuk jalan sutra baru (CNNIndonesia.com, 24/11/2021). Sasarannya untuk membangun infrastruktur darat dan laut untuk meningkatkan perdagangan antar negara di Asia. Dalam proyek ini, Cina memberikan iming-iming berupa dana segar yang fantastis untuk pembangunan infrastruktur negara anggota. Tentu “rayuan” ini menjadi angin segar bagi negara-negara berkembang.
Belum lama juga diumumkan bahwa Indonesia dan Cina resmi menggunakan mata uang Cina, Yuan, sebagai alat transaksi perdagangan (Detikfinance.com, 06/09/2021). Artinya kedua negara tersebut tak lagi menggunakan dolar AS sebagai alat tukar.
Semakin bersandarnya Indonesia pada Cina, membuat Indonesia semakin terikat dan tak memiliki kedaulatan, baik secara ekonomi maupun politik. Cina sengaja menciptakan perangkap berupa Diplomasi Perangkap Utang yang dibentuk sebagai bentuk penjajahan gaya baru (TheConversation.com, 27/11/2021). Dari sektor ekonomi, Cina menjajah Indonesia dalam hubungan diplomasinya.
Salah satunya sektor perdagangan. Produk-produk Cina membanjiri pasar lokal Indonesia. Harga yang murah dengan kualitas impor, tentu menjadikan barang-barang dari Cina menjadi serbuan masyarakat. Wajar saja jika pasar lokal akhirnya kecolongan, dan memberatkan industri dalam negeri. Selain itu, kebijakan lain yang dibuat sepihak oleh Cina dalam proyek BRI (Belt Road Initiative) yang mengharuskan 70% bahan baku didatangkan dari Cina. Tenaga kerja yang digunakan juga berasal dari Cina. Tak ayal, kondisi industri dalam negeri pun akhirnya keok. Pun demikian dengan keadaan sumber daya manusia Indonesia. Datangnya tenaga kerja Cina secara massal turut menyumbang meningkatnya angka pengangguran dalam negeri.
Dari sektor politik, kerjasama Indonesia dan Cina melahirkan kedaulatan yang lemah bagi Indonesia. Saat kapal-kapal Cina masuk ke Laut Cina Selatan dan mengeruk kekayaan laut Indonesia, Indonesia tak berdaya. Tak bisa bertindak tegas terhadap Cina karena takut kehilangan investasi yang besar dari Cina. Jelaslah, mesranya hubungan Indonesia dan Cina melahirkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.
Cina merupakan negara kafir harbi yang seharusnya diperangi, bukan untuk ditemani. Allah SWT mengharamkan segala bentuk kerjasama dengan kafir harbi karena pasti melahirkan kesengsaraan bagi umat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali” (QS. Ali ‘Imran: 28).
Mengutip dari Ensiklopedi Muhammad, Nabi Muhammad SAW sebagai negarawan, prinsip paling mendasar dalam menjalin hubungan diplomatis antarnegara ialah menghormati kesepakatan dan fakta perjanjian. Perjanjian yang telah disepakati tidak boleh dilanggar oleh pihak kaum muslimin. Sebaliknya, bila pihak kedua melanggarnya maka kaum muslimin berhak keluar dari kesepakatan perjanjian tersebut. Kerjasama yang melahirkan mudharat wajib untuk segera ditinggalkan. Karena pasti menimbulkan kezaliman bagi umat.
Sejatinya, hubungan luar negeri suatu negara harus diatur dalam aturan syariat Islam. Saat ini, negara berpijak pada sistem yang rusak. Sistem sekuler kapitalisme yang menjadikan kepentingan individu dan golongan sebagai tujuan. Tak heran, kezaliman merata di setiap inchi negeri.
Dalam sistem Islam, hubungan diplomatis luar negeri diatur berdasarkan akidah Islam. Setiap kebijakan ditujukan untuk maslahat umat. Sistem Islamlah satu-satunya sistem shahih, solusi seluruh masalah yang dihadapi umat.
Wallahu a’lam bishshawwab.
[ah/LM]