Bekasi Rawan Kejahatan, Tak Adakah Lagi Tempat Aman?

Oleh: Irma Sari Rahayu, S.Pi.

 

Lensa Media News – Kejahatan dapat terjadi bukan hanya karena niat si pelaku, namun juga karena ada kesempatan. Berbagai jenis kejahatan terus terjadi seolah tak pernah berhenti. Bahkan seringkali disertai kekerasan yang berujung maut. Saat inilah nyatanya negara telah gagal memberikan jaminan rasa aman kepada warganya.

Kembali kepolisian Kabupaten Bekasi melakukan penangkapan terhadap pelaku pembegalan sepeda motor dengan senjata tajam. Sembilan orang pelaku pembegalan dibekuk lantaran kerap beraksi di wilayah Kabupaten Bekasi (JPNN.com, 24/80/2021).

Selama pandemi Covid-19 berlangsung, angka kriminalitas di Bekasi cenderung meningkat. Kasubag Humas Polres Metro Bekasi Kota, Kompol Erna Ruswing mengaku, laporan tindak kejahatan yang terjadi selama masa pandemi di tahun 2020 lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Sebanyak 339 kasus kriminalitas terjadi di Kota Bekasi di tahun 2020, meningkat 11 kasus yang terjadi di tahun 2019 yaitu sebanyak 228 kasus. Dari total laporan yang masuk, kriminalitas kelompok pencurian dengan pemberatan (curat) dan pencurian kendaraan bermotor (curanmor) paling mendominasi (Radarbekasi.id, 19/03/2021).

Kasus demi kasus kejahatan di Bekasi terus bermunculan bak lingkaran yang tak berujung. Rasa keamanan wargapun tergadai dengan minimnya perlindungan dari aparat berwenang. Mirisnya lagi, mayoritas pelaku kejahatan adalah remaja.

 

Tuntutan Perut dan Lemahnya Hukum

Banyak faktor sebagai penyebab berulangnya tindak kejahatan, salah satunya adalah motif ekonomi. Di masa pandemi khususnya, banyak masyarakat kehilangan atau kesulitan mencari pekerjaan, sementara tuntutan perut tak dapat ditunda serta kebutuhan hidup lainnya juga mengiringi. Akhirnya membuat orang gelap mata dan nekat berbuat kriminal asalkan perut kenyang. Meskipun ada juga penyebab lain yang mendorong pelaku kejahatan bahkan sampai tega melukai korbannya, yaitu karena pengaruh minuman keras.

Hal ini senada seperti yang diungkapkan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara (Ubhara) Jaya, Anggreany Haryani Putri. Dalam bukunya yang berjudul Kriminologi, ia mengungkapkan sebuah teori kriminologi, bahwa kejahatan dipicu oleh banyak faktor. Di antaranya ekonomi, psikologi, sosial, dan lingkungan yang membentuk individu seseorang menjadi jahat, atau patut diduga dapat melakukan kejahatan. “Orang dapat melakukan kejahatan manakala kebutuhan ekonominya tidak baik, yang pada pemenuhan kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan, dan papan terganggu,” terangnya.

Penerapan hukum yang lemah juga menjadi penyebab lain tumbuh suburnya tindak kejahatan di Bekasi. Pelaku kriminal biasanya hanya mendapatkan hukuman penjara namun tak bisa membuat pelaku jera. Upaya penjagaan keselamatan pun akhirnya diserahkan kepada masyarakat sendiri dengan membentuk gerakan siskamling dan lainnya.

 

Penjagaan Keamanan adalah Kewajiban Negara

Keamanan termasuk salah satu kebutuhan dasar manusia. Jika kondisi lingkungan tempat tinggalnya tak aman, bagaimana mungkin seseorang dapat merasa nyaman tanpa rasa was-was untuk hidup di dalamnya. Oleh karena itu, Islam meletakkan keamanan dalam posisi vital selaras dengan kebutuhan pokok manusia.

Islam menjadikan negara sebagai pelaksana penjagaan keamanan masyarakat. Khalifah sebagai kepala negara wajib membentuk sistem keamanan yang tangguh di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri yang dikepalai oleh seorang Mudir Keamanan Dalam Negeri. Departemen inilah yang mengurusi penjagaan keamanan di dalam negeri melalui satuan kepolisian.

Bagi para pelaku kejahatan seperti pembegal, perampok, orang-orang yang menyerang masyarakat, merampas harta dan menghilangkan nyawa, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri akan mengirimkan satuan polisi untuk mengusir mereka dan menjatuhkan sanksi. Sanksi terhadap pelaku kejahatan berupa hukuman mati dan penyaliban, atau hukuman mati, atau tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilangan atau diasingkan ke tempat lain.

Sanksi ini diberikan sesuai dengan ketentuan Allah Swt dalam surat Al Maidah ayat 33 yang berbunyi, “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau tangan dan kaki mereka dipotong dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang besar”.

Demikianlah syariat Islam mengatur jaminan keamanan masyarakat dengan negara sebagai penyelenggaranya. Jaminan ini tak kan pernah didapatkan dalam kehidupan sistem sekularisme yang masih mengungkung kehidupan manusia dan diadopsi oleh negara hingga saat ini. Saat keberadaan Allah Swt sebagai Al Khalik Al Mudabbir ditiadakan dalam kehidupan, maka nyata kerusakan yang menimpa manusia dan nyata pula kegagalannya. Masihkah tetap menyangkalnya?

Wallahu a’lam bishshawab.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis