Fenomena “Perang Baliho” saat Pandemi, Negara Kehilangan Sense of Crisis

Oleh: Ulfah Sari Sakti,S.Pi

(Jurnalis Muslimah Kendari)

 

Lensamedianews.com-Ada-ada saja yang dilakukan para politikus di negeri ini, bukannya bersimpati pada korban kesehatan dan korban ekonomi pandemi Covid-19, mereka malah sibuk mempromosikan diri melalui baliho, agar kelak dapat dipilih menjadi 01 negeri ini.

Dirilis dari DetikNews (5/8/2021), perang baliho semakin marak, mulai dari Ketua DPR, Puan Maharani, Ketum Golkar, Airlangga Hartarto, Ketum PKB, Muhaimin Iskandar hingga Ketum Demokrat, AHY. Apakah pemasangan baliho masih efektif meningkatkan popularitas?

Pakar Komunikasi UI, Firman Kurniawan Sujono mengatakan memang baliho memiliki keunggulan tersendiri. Apalagi di tempat strategis yang banyak orang berlalu lalang, baliho akan menjadi pusat perhatian publik.

Menurut Firman di musim kampanye perang baliho antar politik akan menjadi kejenuhan bagi masyarakat. Sehingga menurutnya, pesan yang ada di baliho tidak sampai di masyarakat, tapi malah sebaliknya.

Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga berpendapat, politikus yang sudah melakukan hal itu tidak layak dipilih dalam kontestasi pemilihan umum di 2024 mendatang.

“Elite politik seperti itu tak layak dipilih menjadi pemimpin. Masyarakat sebaiknya mencatat elite politik seperti itu dan mengabaikannya pada Pilpres dan Pileg 2024,” ujarnya.

Menurut Jamiluddin, pemasangan baliho bernada kampanye di tengah situasi seperti sekarang kurang tepat. Sebab, masyarakat saat ini sedang mengalami kesusahan akibat Pandemi Covid-19.

“Elite politik seperti ini mengesankan sosok egois dan cenderung haus kekuasaan. Karena itu, elite politik semacam itu tak punya empati atas penderitaan masyarakat, mereka tak peduli atas persoalan yang dihadapi masyarakat,” jelas mantan Dekan IISIP itu (infoindonesia.id/6/8/2021).

Senada itu, Koordinator Nasional Sekretaris Nasional (Seknas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR), Alwan Ola Riantoby menilai, memasang baliho untuk mendongkrak popularitas tokoh partai politik saat pandemi Covid-19 tidaklah elok. Pasalnya, masyarakat saat ini tengah berjuang akibat dampak dari virus tersebut.

“Secara etika politik, para politisi kita yang mestinya menjadi negarawan, penopang kebijakan, dan kepanjangan tangan dari rakyat, saya kira tidak elok kalau kemudian masyarakat sedang menderita dan berjibaku, tetapi orang sedang berlomba-lomba merebut kekuasaan,” ujar Alwan (republika.co.id/2/8/2021).

 

Merindukan Pemimpin yang Amanah

Pemasangan baliho yang terkesan mencuri start dari kampanye tahun 2024 nanti, tentunya bukan hal baru pada sistem saat ini. Mengingat pencitraan menuju tampuk kekuasaan lebih diutamakan, dibanding realisasi janji mereka kelak setelah meraih kekuasaan. Hal ini wajar saja terjadi karena sistem kapitalis–sekuler menjadikan materi sebagai standar kehidupan.

Sejatinya para pemimpin negeri ini dapat mencontoh sistem kepemimpinan Islam, yang mana pemilihannya tidak membutuhkan biaya politik yang besar, karena khalifah diangkat melalui sistem pembaiatan tanpa embel-embel dukungan partai politik. Syaratnya pun sesuai syariat yaitu muslim, laki-laki, baligh, seorang yang berakal, seorang yang adil, merdeka, dan orang yang mampu (menjalankan amanah),

Khalifah yang terpilih tentunya khalifah yang amanah, sebagaimana Sabda Rasulullah Saw., “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)

Selain amanah dalam menjalankan tugas, kehidupan para khalifah pun sangat jauh dari kesan mewah, bahkan mereka rela tidak makan enak dan tidur nyenyak hingga rakyatnya sejahtera.

Seperti dicontohkan Khalifah Umar bin Khaththab. Disebutkan, ketika rakyat sedangnya dilanda kelaparan, Khalifah Umar naik mimbar dengan perut keroncongan. Sambil menahan lapar yang tidak kepalang, Umar bin Khaththab berpidato di hadapan orang-orang.

Dia berkata kepada perutnya, “Hai, perut, walau engkau terus meronta-ronta, keroncongan, saya tetap tidak akan menyumpalmu dengan daging dan mentega sampai umat Muhammad merasa kenyang.”

Begitu pula halnnya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berhasil memakmurkan masyarakatnya selama kurun waktu 2,5 tahun pemerintahannya, hal ini terbukti dengan tidak didapatinya seorang pun yang berhak menerima zakat.

Bahkan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq meninggal tanpa meninggalkan seperser pun dirham atau dinar. Beliau juga ingin dikafankan dengan kain usang, yaitu kain putih yang biasa digunakan untuk menyelimutinya.

Karena itu, pandemi ini merupakan momentum untuk tidak henti-hentinya melakukan muhasabah lil hukkam (koreksi kepada penguasa). Semoga pemimpin negeri ini mendapat hidayah, sehingga mampu menjadi pemimpin layaknya para khalifah, tentunya dengan penerapan syariat Islam Kafah. Wallahu’alam bishowab. [LM/Mi]

Please follow and like us:

Tentang Penulis