Eksistensi Demokrasi dan Pandemi

Oleh: Puji Ariyanti

(Pegiat Literasi Untuk Peradaban)

 

Lensa Pandemi News – Pandemi belum menunjukkan kapan berakhir. Lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia telah meningkatkan angka kematian. Hingga 4 Juli 2021, data nasional setidaknya mencatat 60.582 orang meninggal terkonfirmasi positif, melalui hasil usap PCR. Angka kematian terkait Covid-19 yang sebenarnya, diperkirakan jauh lebih banyak. Kebijakan solusi dari PSBB hingga PPKM empat Level dianggap gagal dan sengsarakan rakyat.

Gelombang protes rakyat karena kegagalan pemerintah menangani pandemi datang dari beragam masyarakat. Dari kalangan pegiat medsos ataupun dari kalangan mahasiswa (Kompas, 19/7/2021). Hal serupa juga terjadi pada negara Tunisia. Presiden Tunisia Kais Saied menerapkan keadaan darurat nasional atas pandemi virus corona dan pemerintahan yang buruk. Dengan memberhentikan perdana menteri, membekukan parlemen, dan merebut kendali eksekutif. Langkah itu disambut oleh demonstran jalanan dan dicap sebagai kudeta oleh lawan-lawan politiknya.

Hal ini menandakan gerakan protes rakyat karena kegagalan pemerintah menangani pandemi masih berporos pada pakem demokrasi. Paling jauh dengan mendorong sikap otoriter seperti halnya presiden Tunisia. Kita lihat saja, bahkan Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih Sullivan menekankan kepada Saied perlunya membentuk pemerintahan baru dengan cepat, dipimpin oleh seorang perdana menteri yang cakap untuk menstabilkan ekonomi Tunisia dan menghadapi pandemi Covid-19.

Setali tiga uang dengan kondisi tanah air yang menginginkan pergantian pemimpin tanpa dibarengi pergantian sistem. Perubahan yang selalu dibicarakan adalah perubahan orang, siapa presidennya, siapa wakil rakyatnya. Padahal justru yang paling penting adalah sistem apa yang digunakan.

Sejatinya kegagalan demi kegagalan atas kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi karena kebijakan yang digunakan menggunakan sistem selain Islam yakni sistem kapitalis yang lahir dari demokrasi. Sistem kapitalis menghamba pada pemilik modal. Sudah barang tentu kebijakan dalam menangani pandemi bermuara pada keuntungan materi semata.

Bagaimana mungkin jika persoalan pandemi adalah persoalan kemanusiaan, namun penanganannya menggunakan kebijakan bisnis para korporasi penjual vaksin. Benarkah Indonesia tidak memiliki para cerdik pandai guna mencipta vaksin, sehingga tidak bergantung pada negara pencipta vaksin?

Saat pemerintah melempar kebijakan PSBB hingga PPKM empat Level, seharusnya dibarengi pula dengan pengurusan kebutuhan rakyat. Rakyat tidak dibiarkan bertaruh nyawa melawan virus ganas atau melawan petugas yang menghalaunya saat seorang ayah keluar rumah mencari rezeki.

Jika manusia mau tunduk dengan aturan-Nya pastilah tidak mengalami kesulitan seperti saat ini. Penguasa tinggal mengedukasi dan meriayah masyarakatnya, serta dikuatkan keimanannya bahwa pandemi adalah qadha yang harus dihadapi.

Solusi alternatif dalam menangani pandemi ada pada Islam. Karena Islam memiliki ideologi sempurna dalam menyelesaikan wabah. Ide karantina dalam mengatasi wabah penyakit menular telah dilakukan sejak dahulu bahkan sebelum teknologi mutakhir seperti saat ini.

Hal ini juga terjadi di masa Rasulullah SAW. Saat itu terjadi wabah kusta yang menular dan mematikan dan belum diketahui obatnya. Salah satu upaya Rasulullah SAW adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut. Sebagaimana sabda beliau, “Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta “(HR al-Bukhari).

Metode karantina sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah SAW. Guna mencegah wabah penyakit menular menjalar ke wilayah lain. Hingga Rasul SAW pun membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah. Rasulullah SAW pun juga memberi peringatan kehati-hatian pada penyakit ini. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa.” (HR al-Bukhari).

Rasul SAW bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninginggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari). Saat terjadi wabah penyakit menular. Tentu rakyat butuh perlindungan optimal dari penguasanya. Penguasa tidak boleh abai. Para penguasa Muslim pada masa lalu, seperti Rasulullah saw.

Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. bahkan di masa Rasulullah telah mencontohkan bagaimana seharusnya kedudukan penguasa di saat terjadi wabah. Sudah seharusnya seorang penguasa bertanggung jawab atas segala persoalan yang mendera rakyatnya. Seperti saat sekarang ini rakyat bertaruh nyawa tanpa kehadiran seorang pemimpin secara total.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak mempedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan mempedulikan kebutuhan dan kepentinganya (pada Hari Kiamat).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Wallahu’alam Bissawab.

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis