School from Home ala Kapitalisme: Sebuah Paradoks
Oleh: Ilmi Mumtahanah
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Lensa Media News – Di Indonesia, sebagai upaya untuk mencegah meluasnya pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembelajaran secara daring (dalam jaringan). Sekolah maupun kampus meminta peserta didiknya untuk belajar dari rumah (school from home). Per 16 Maret 2020, kebijakan ini diberlakukan. Meskipun sempat ada beberapa sekolah yang offline, tapi karena terjadi ledakan pasien pada gelombang kedua Covid-19 ini, maka sekolah kembali belajar daring.
Pembelajaran daring sendiri merupakan sistem pembelajaran tanpa tatap muka secara langsung antara guru dan siswa. Proses belajar-mengajar dilakukan secara online dengan memanfaatkan jaringan internet. Guru harus memastikan pembelajaran tetap berjalan, meskipun siswa berada di rumah.
Secara umum, ada tiga kelemahan yang ditemukan selama proses belajar daring ini. Pertama, wali murid merasa kerepotan mendampingi anaknya menyelesaikan tugas-tugas dari guru. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, menerima pengaduan sejumlah orang tua siswa yang mengeluhkan tugas-tugas yang dibagikan guru kepada anak-anak mereka secara daring. Anak-anak justru stres karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari gurunya (Okezone.com, 19/02/2021). Wali murid yang tidak mawas teknologi tentu turut pening dengan pembelajaran yang serba digital. Pun, keterbatasan kepemilikan gadget dan paket internet turut menghambat proses belajar daring ini.
Kedua, tenaga pengajar menghadapi banyak kendala pada saat mengajar daring. Beberapa materi ajar yang membutuhkan fokus dan praktik seperti Matematika, Kesenian, dan Olahraga tidak dapat tersampaikan dengan baik. Pengajar juga kurang memiliki pengalaman dengan sistem pembelajaran daring sehingga metode atau media mengajar masih cenderung repetitif dan kurang inovatif. Biaya internet yang membengkak juga digelisahkan, terlebih subsidi kuota dari pihak sekolah nihil.
Ketiga, jaringan internet belum merata ke seluruh wilayah. Koneksi jaringan internet menjadi salah satu kendala yang dihadapi siswa yang tempat tinggalnya sulit untuk mengakses internet, apalagi siswa tersebut tempat tinggalnya di daerah pedesaan, terpencil, dan tertinggal. Kalaupun ada yang menggunakan jaringan seluler terkadang jaringannya tidak stabil, karena letak geografis yang masih jauh dari jangkauan sinyal seluler. Data dari Kominfo RI per 29 Desember 2020, terkait wilayah yang belum terakses oleh internet, jumlahnya masih mencapai 12.548 desa dan kelurahan.
Mencermati hal ini, tampak bahwa orang tua, siswa, guru, dan negara tidak siap menghadapi pembelajaran daring. Perpindahan sistem belajar konvensional ke sistem daring amat mendadak, tanpa persiapan yang matang. Pakar Pendidikan, Isa Anshori, menilai sistem belajar daring yang diterapkan sekolah saat ini tidak efektif. Sebab, metode daring belum disiapkan sepenuhnya (Detik.com, 17/07/2020). Sehingga, banyak ditemukan keluhan dan masalah, baik dari siswa maupun orang tua.
Padahal, secara proses, belajar tatap muka memang lebih efektif dibandingkan daring. Namun, pelaksanaannya di tengah pandemi tentu membutuhkan persiapan teknis. Sebab, tidak semua siswa bisa melakukan tatap muka dalam waktu bersamaan. Butuh pengaturan. Untuk itu sekolah harus menyiapkan sistem dan tendik agar bisa menyelenggarakan pembelajaran model ganda ini.
Bagaimana pun, belajar daring masih tetap harus dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan siswa yang tidak masuk sekolah tersebab tidak diizinkan orang tua atau ledakan gelombang kedua Covid-19. Jika sekolah mengadopsi blended learning, maka guru harus cerdas mengelola kelas dan menyusun bahan ajar. Model pembelajaran ini (campuran antara online dan offline) mengharuskan guru lebih teliti menyampaikan pembelajaran dan mengevaluasi penerimaan (feedback) siswa.
Masalahnya, jika saat belajar tatap muka sebelum pandemi saja kualitas guru dalam mengelola kelas masih harus ditingkatkan, apatah lagi jika mereka harus mengelola dual system ini. Ditambah lagi, dalam sistem pendidikan kapitalis, beban kurikulum begitu berat.
Tantangan guru juga semakin besar. Capaian prestasi akademik kerap membuat guru lebih fokus pada penyampaian materi, ketimbang memperhatikan capaian kualitas kepribadian siswa. Demikianlah, belajar daring membutuhkan prasyarat agar benar-benar efektif.
Pertanyaan selanjutnya, jika memang belajar daring terbukti tidak efektif karena keterbatasan dan ketidaksiapan secara prosedural, maka seharusnya negara fokus membenahi masalah tersebut. Pada hakikatnya, yang menyebabkan tidak efektifnya school from home dan dampak sosial yang ditimbulkannya adalah berlakunya sistem kapitalis di negeri ini. Kurikulum pendidikannya gagap menghadapi pandemi. Kapitalisme juga menghasilkan kesempitan ekonomi yang berujung pada disfungsi peran ibu. Ibu tidak fokus membersamai belajar di rumah karena harus bekerja. Pun, tak sedikit anak-anak yang lebih memilih bekerja daripada belajar.
Kapitalisme juga menciptakan lingkungan sosial liberalis yang mengganggu proses pembelajaran. Banyaknya kekerasan pada anak, pernikahan remaja, kecanduan gawai adalah dampak dari kehidupan liberal saat ini.
Di sisi lain, negara lemah dalam mengatasi penyebaran pandemi, tak mau menerapkan karantina wilayah. Social distancing dalam berbagai nama; PSBB, New Normal, atau PPKM, tak memperlihatkan efek yang signifikan. Sebuah ironi, rakyat disuruh tinggal di rumah sementara kebutuhan pokoknya tidak dijamin. Rakyat disuruh tinggal di rumah sementara TKA dibiarkan masuk ke dalam negeri. Paradoks ini seolah mengonfirmasi bahwa negara lebih peduli kepentingan ekonomi daripada keselamatan warganya. Semoga tidak demikian.
Wallahu a’lam.
[ah/LM]