Tambah Utang, Untuk Kepentingan Siapa?

Oleh: Anita Ummu Taqillah

(Komunitas Menulis Setajam Pena)

 

Lensamedianews.com– Lagi-lagi negeri ini berutang. Padahal utang negara telah menggunung, baik dalam negeri maupun luar negeri, dengan total sekitar Rp 6.527, 29 triliun per April 2021. Dengan jumlah yang fantastis tersebut, masihkah harus menambah utang dengan dalih menyelamatkan rakyat dan perekonomian yang sedang kacau?

Dilansir dari cnnindonesia.com (24/7/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa utang adalah salah satu instrumen untuk menyelamatkan rakyat dan perekonomian di masa pandemi. Apapun akan dilakukan untuk memenuhinya. Apalagi APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan yang besar, salah satunya dari utang.

Tentu hal ini menimbulkan banyak tanya di kalangan masyarakat. Sebab faktanya, masyarakat masih dalam kondisi serba terhimpit, baik secara ekonomi maupun kesehatan. Apalagi jika harus utang lagi, bukankah kelak hal itu akan borpotensi menaikkan pajak dan membebani rakyat lagi?

Ironisnya, di tengah rencana penambahan utang, pemerintah justru menyiapkan anggaran dana sebesar Rp 17,42 Triliun untuk Laptop Merah Putih, yang tentu saja tidak lebih penting dari memenuhi kebutuhan rakyat di masa pandemi ini. Dikutip dari tribunnews.com (23/7/2021), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan bahwa pemerintah berupaya memperkuat kemampuan riset dalam negeri untuk mendorong pembuatan laptop dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang tinggi agar dapat memproduksi laptop Merah Putih, mulai dari desain hingga pengembangannya.

Di satu sisi menambah utang untuk menambal kekurangan keuangan, namun di sisi lain justru menghamburkan uang untuk hal lain yang kurang penting. Tentu, kebijakan seperti itu adalah demi kepentingan korporasi, bukan rakyat sendiri.

 

Utang, Sumber Pendapatan Kapitalisme

Begitulah pemerintahan dengan sistem kapitalisme yang bercokol di negeri ini. Sumber keuangan selalu mengandalkan utang dan pajak, tanpa memperhitungkan nasib rakyat di kemudian hari. Utang dianggap cara praktis dan cepat. Padahal Indonesia berpotensi gagal bayar, sebab jumlah utang yang terlalu tinggi. Belum lagi, utang akan menguatkan cengkeraman hegemoni negara asing pemberi utang di Indonesia. Padahal selama ini negara sudah disetir dalam mengambil kebijakan.

Inilah cara pandang sistem kapitalisme. Pemasukan menghalalkan segala cara, yang sebenarnya hanya untuk segelintir kalangan saja. Tanpa mengindahkan prioritas mana yang seharusnya diutamakan. Padahal nyawa rakyat taruhannya.

Sebenarnya negeri ini kaya raya. Pertambangan, perkebunan, hutan dan lautan terbentang luas, yang tentu akan menghasilkan pemasukan bagi negara. Sejatinya, jika kekayaan itu dikelola dengan baik dan mandiri, maka akan menghasilkan pemasukan negara yang melimpah ruah.

Namun sayang, penguasa justru lebih memilih menginvestasikan kekayaan negeri kepada asing. Hampir seluruh pertambangan dikelola dan dikuasai oleh asing. Sungguh tragis, lama kelamaan rakyat negeri ini bisa mati di rumah sendiri. Na’udzubillah.

 

Sumber Pendapatan dalam Islam

Sistem Islam telah memberi tuntunan yang luar biasa dalam mengelola negara, termasuk dalam mendapatkan pemasukan negara. Sumber utama pendapatan negara atau kas baitul mal adalah dari 3 sumber. Pertama, pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum, seperti barang tambang, minyak, hasil hutan, perairan, dan lain-lain sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihiwasallam, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Kedua, pemasukan dari kepemilikan negara, misalnya harta kharaj, fai, jizyah, dan lain-lain. Sedangkan yang ketiga adalah pemasukan dari zakat mal, yang hanya diperuntukkan atau disalurkan ke delapan asnaf.

Seluruh pembiayaan negara diambil dari baitul mal tersebut. Namun, jika baitul mal mengalami kekosongan, maka sumber pemasukan negara boleh dari pungutan pajak. Pajak akan dibebankan kepada rakyat yang memiliki kelebihan harta, serta telah mampu mencukupi kebutuhan dasar juga pelengkapnya secara sempurna.

Jika dari pajak tersebut masih mengalami kekurangan, maka boleh negara berutang kepada rakyatnya yang kaya raya, bukan berutang kepada negara kafir yang nyata menjadi musuh Islam. Sebagaimana slogan negara pemberi utang “No Free Lunch” alias tidak ada makan siang yang gratis, maka tidak ada pinjaman yang gratis. Salah satu bukti adalah adanya bunga. Untuk itu, hendaknya harus dipertimbangkan lagi wacana untuk menambah utang. Bukankah ada alternatif lain yang bisa dimaksimalkan? Wallahua’lambishawwab. [lnr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis