Masyarakat Terbelit Pajak di Era Kapitalisme Neoliberal, Keniscayaan!

Oleh : Riri Rikeu

 

Lensa Media News – Wacana penarikan pajak dari sektor pendidikan dan pangan sembako, menuai banyak protes masyarakat. Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa segala macam isu perpajakan, seperti soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), pajak sembako dan sekolah, serta lainnya bakal dibahas dalam Rapat Paripurna bersama DPR RI (IDN Times.com, 21/06/2021). Meskipun belum diresmikan, tapi masyarakat was-was dibuatnya. Karena kehidupan sebagian besar masyarakat terjepit di saat pandemi sekarang ini.

Dilansir dari bisnis.com (10/06/2021), dijelaskan bahwa dengan dipungut pajak akan ada 2 kelebihan yang didapat. Pertama, potensi penerimaan lebih maksimal karena seluruh lapisan masyarakat membayar tarif sesuai dengan kemampuan. Kedua, menjaga daya beli masyarakat yang sejak tahun lalu tertekan akibat pandemi Covid-19. Harapannya, skema multitarif memberikan perlindungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah.

Tentu pernyataan di atas akan sulit diterima oleh masyarakat. Para peneliti mengatakan pengenaan PPN akan mengusik rasa keadilan karena mempengaruhi daya beli masyarakat sementara sebelumnya pemerintah justru melakukan relaksasi pajak pada penjualan mobil baru.

Pajak memang menjadi pos pendapatan utama APBN dalam sistem ekonomi Kapitalisme Neoliberal. Hampir semua mengetahui bahwa kondisi ekonomi di negara ini defisit akibat membengkaknya pengeluaran. Dipungutnya pajak menjadi solusi dan diharapkan mampu menopang defisitnya APBN. Penerapan PPN ini merupakan langkah persiapan optimalisasi penerimaan pajak setelah pandemi, karena sebelumnya bertumpu pada pembiayaan utang disebabkan penerimaan pajak turun (bbc.com, 11/06/2021).

Sistem ekonomi kapitalis neoliberal memang tidak memberikan kesejahteraan yang adil dan merata pada masyarakat. Itulah dampaknya jika hukum dibuat bukan berdasarkan wahyu Illahi tapi berdasarkan akal manusia. Produk yang dihasilkan hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara pihak lain dirugikan. Hal ini kontras dengan sistem keuangan Islam.

Sistem keuangan Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Pajak dipungut ketika kas negara dalam kondisi kosong. Pemungutan pajak diarahkan pada masyarakat yang dianggap berada secara hakiki, yaitu sudah mampu memenuhi biaya primer, sekunder dan tersier keluarga inti berikut kerabat yang ada dalam tanggungannya. Sehingga haram penguasa membebani rakyatnya dengan memungut pajak yang menyalahi aturan syariat.

Dalam ketetapan syariat, sumber-sumber penerimaan negara cukup banyak. Yakni dari sumber kepemilikan individu, seperti hibah, sedekah, atau zakat. Meski untuk zakat ada ketetapan khusus untuk pengelolaannya. Juga dari kepemilikan umum berupa sumber-sumber tambang yang depositnya tak terbatas, migas, hutan, dan lain-lain. Dan bagi Indonesia potensi ini jelas jumlahnya fantastis, sayangnya salah pengelolaan akibat sistem kapitalisme yang meniscayakan privatisasi dalam jenis kepemilikan ini (muslimahnews.com, 15/06/2021).

Oleh karena itu, selama sistem yang dipakai bukan sistem Islam kaffah, maka akan selalu ada kemungkinan pajak dipungut dari masyarakat di berbagai sektor kehidupan. Kehidupan pun terasa makin sempit. Disinilah pentingnya menyampaikan pada berbagai lapisan masyarakat bahwa Islam adalah solusi berbagai problematika kehidupan. Karena sistem Islam berasal dari wahyu Allah SWT.

Wallahua’lam.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis